REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Masyarakat boleh saja geram dengan banyaknya buronan Indonesia yang berada di luar negeri namun sulit untuk dilakukan penangkapan. Ternyata undang-undang di Indonesia yang malah mempersulit penangkapan tersebut.
"Kalau di negara lain, surat penangkapan dikeluarkan pengadilan. Tapi kalau kita (Indonesia) harus minta ke penyidik yang bersangkutan," kata Kepala Bagian Kejahatan Internasional Divisi Hubungan Internasional Polri, Kombes Hasan Malik dalam pertemuan dengan para wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Senin (19/12).
Hasan mengeluhkan sulitnya penangkapan buronan Indonesia harus melalui surat penangkapan yang dikeluarkan penyidik yang bersangkutan apakah penyidik dari Polri, Kejaksaan Agung atau Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ia membandingkannya dengan negara lain yang mudah menangkap buronan di negara lain karena surat penangkapan dikeluarkan pengadilan.
Selain itu, perbedaan perlakuan red notice antara Indonesia dengan negara lain juga mempersulit penangkapan buronan atau Daftar Pencarian Orang (DPO). Bagi Polri, red notice menjadi alat hukum untuk melakukan penahanan di luar negeri.
Namun bagi negara lain, pencarian seseorang yang dikeluarkan red notice, hanya untuk memberikan informasi. Ia menyontohkan kasus Hendra Raharja dan Andrian Kiki Ariawan yang meski sudah mengetahui keberadaannya namun tidak dapat dilakukan penangkapan.
Masalah perjanjian ekstradisi juga menjadi kendala. Dalam UU tentang ekstradisi menyebutkan seseorang bisa diekstradisi kalau sudah adanya perjanjian tapi juga berdasarkan adanya hubungan baik antara kedua negara.
Dengan UU ini, negara lain akan menyepelekan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia karena cukup dengan hubungan baik saja, sudah cukup.
Ia menyebutkan kerja sama ekstradisi dengan Thailand. Meski antar kedua negara telah menandatangani perjanjian ekstradisi, lanjutnya, bukan berarti dapat dengan mudah melakukan penangkapan terhadap buronan. Hambali, buronan teroris, tidak dapat dijangkau kepolisian Indonesia, namun malah diberikan kepada Amerika Serikat.
Pun dengan Singapura, yang ia sebut pintar dengan menyebutkan dalam undang-undangnya bahwa pemerintah tidak mempertimbangkan United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC) dalam ekstradisi dengan negara lain sebelum PBB meratifikasi UNCAC.
"Kita bisa menggunakan MLA ASEAN, perjanjian sudah ditandatangani tapi belum diratifikasi. Kalau sudah, nanti kita 'sikat' buronan yang ada di Singapura," tegasnya.