REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU - Anggota Komisi III DPR RI (bidang Hukum), Bambang Soesatyo (Fraksi Partai Golkar), mengingatkan sebagai orang kepercayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah dua kali melakukan kesalahan fatal yang pada gilirannya memojokkan presiden.
"Kesalahan fatal pertama, ketika dia memberi masukan yang salah kepada Presiden Yudhoyono bahwa posisi Jaksa Agung yang kala itu dijabat Hendarman Supandji sah, karena diangkat oleh presiden," katanya kepada ANTARA Pekanbaru, Kamis (15/12).
Karenanya, demikian Bambang Soesatyo melalui jejaring komunikasi, Hendarman Supandji dinyatakan (Denny Indrayana, kini Wakil Menhukham) bisa menjabat hingga 2014.
"Namun, masukan itu salah total, karena gugatan yang diajukan Yusri Ihza Mahendra dipenuhi oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga Hendarman harus mundur dari jabatannya," jelasnya.
Tetapi, lanjutnya, Denny bersikukuh dengan pendiriannya untuk meyakinkan publik, seolah tidak ada kelalaian di pihak presiden. "Padahal, Putusan MK jelas-jelas membuktikan adanya kelalaian itu," ujarnya.
'Blunder' Kedua
Selanjutnya, Bambang Soesatyo menunjuk 'blunder' kedua yang jelas-jelas malah sangat berpotensi memojokkan posisi presiden. "Yakni, kasus kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana koruptor dan teroris," ungkapnya.
Kebijakan ini, menurutnya, bisa saja menjerumuskan presiden ke dalam posisi yang rawan. "Karena, arus dukungan bagi penggunaan instrumen Hak Interpelasi (HI) DPR RI terhadap kebijakan pengetatan remisi itu semakin kuat," tuturnya.
Bambang memperkirakan, kemungkinan ini harus diantisipasi Presiden Yudhoyono, karena hingga akhir pekan lalu, jumlah anggota DPR RI yang membubuhkan tanda tangan mereka sebagai pendukung HI 'Moratorium Remisi' terus bertambah.
"Jumlah fraksi pendukung pun dipastikan bertambah menjadi delapan fraksi. Tidak tertutup kemungkinan, akan lebih 50 persen dari jumlah anggota DPR bakal mendukung HI," ujarnya.
Bisa dipastikan, lanjutnya, DPR RI dalam interpelasi akan fokus pada tiga pertanyaan. "Apakah presiden tahu atau tidak tahu dengan kebijakan itu? Apakah kebijakan Menteri Hukum dan HAM ((Menhukham) itu dilaporkan atau tidak dilaporkan kepada presiden? Dan apakah presiden menyetujui atau tidak menyetujui kebijakan pengetatan remisi itu," tuturnya.
Bambang menambahkan, kalau presiden tidak bisa mempertanggungjawabkan kebijakan itu, dan DPR RI berpendapat telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang dan HAM, bukan tidak mungkin HI akan berlanjut dengan Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
"Apalagi, jika penilaian Mahkamah Konstitusi sejalan muatan HMP DPR, konsekwensi berikutnya bisa sampai pada 'impeachment' (pemakzulan) presiden," tegas Bambang Soesatyo.