Senin 12 Dec 2011 11:35 WIB

Pembantaian Rawagede (3) : Kontra Gerilya Berubah Jadi Lisence to Kill

Janda korban Tragedi Rawagede, Cawi (86), diambil gambarnya usai mengunjungi makam suaminya, Bitol, di Monumen Perjuangan Rawagede, Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jabar, Jum'at (16/9).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Janda korban Tragedi Rawagede, Cawi (86), diambil gambarnya usai mengunjungi makam suaminya, Bitol, di Monumen Perjuangan Rawagede, Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jabar, Jum'at (16/9).

 

REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG--Peristiwa Rawagede bagi warga setempat tak mudah dilupakan. Pembantaian rarusan warga oleh pasukan Belanda itu membuat mimpi buruk bagi sisa penduduk di sana. Berikut lanjutan kisah mereka:

Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) Batara R Hutagalung mengatakan, selain tragedi pembantaian di Desa Rawagede (Jawa Barat) yang menewaskan 431 orang warga sipil, masih banyak kasus pembantaian lain yang dilakukan tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia tahun 1945-1950.

"Di Provinsi Sulawesi Selatan, keganasan tentara Belanda di bawah pimpinan Raymond Westerling yang dilakukan pada bulan Desember 1946 menelan korban 40.000 jiwa," kata Batara.

Batara mengatakan, perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya yang membantai penduduk Desa Galung Lombok dan desa sekitarnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan "contra-guerilla", memperoleh "licence to kill" (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr van Mook karena khawatir dengan perlawanan masyarakat lokal terhadap pendudukan tentara Belanda.

"Jadi yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda," katanya.

Selain penyelidikan atas kasus pembantaian di Sulawesi Selatan, Batara juga menyerukan Pemerintah Belanda secara "de jure" mengakui tanggal resmi kemerdekaan Republik Indonesia, yakni 17 Agustus 1945.

"Dari sudut sejarah, yang diakui oleh Pemerintah Belanda, yaitu Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Itu sudah dibubarkan tanggal 16 Agustus 1950 dan 17 Agustus 1950 dinyatakan kembali berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia," katanya.

"Indonesia bisa saja menuntut Belanda atas kejahatan perang selama masa lima tahun tersebut dan pihak yang bertanggung jawab atas semua kejahatan itu bisa diaj [removed][removed] ukan ke Mahkamah Internasional," katanya. (

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement