REPUBLIKA.CO.ID, SAMPANG – Minimnya infrastruktur di sekitar lahan pegaraman petani garam, membuat petani harus mengeluarkan dana lebih hanya untuk pendistribusiannya. Hal ini membuat Aliansi Asosiasi Petani Garam Republik Indonesia (A2PGRI) meminta perlunya pembenahan infrastruktur, apalagi Pemerintah telah mencanangkan swasembada garam.
"Minimal kami mengeluarkan dana kurang lebih Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu, hanya untuk memindahkan garam dari lahan," ungkap anggota A2PGRI, Jakfar Soddikin. Saat ini, menurut Jakfar, proses pendistribusian masih tergantung pasang air laut.
Biayanya pun cukup besar, dari lahan penggaraman atau lahan kristalisasi, diangkut kapal perahu dari tambak ke tepian sungai dengan biaya sebesar 50 ribu-70 ribu per ton. Kemudian proses pengangkutan membutuhkan biaya Rp 25 ribu dan selanjutnya dibawa dengan truk dengan biaya Rp 18 ribu per ton.
Masalah utamanya ialah di Kabupaten Sampang, khususnya di Pengarengan, hanya terdapat tiga jembatan penghubung sehingga menyulitkan proses distribusi. Sehingga keuntungan petani tak terlalu banyak. Mereka lebih banyak membayar biaya untuk distribusi. Padahal, lanjut Jakfar, dengan adanya rencana swasembada garam, pembangunan infrastruktur juga diterus ditingkatkan.
Sementara itu, Faisal Baidowi, Anggota Presidium Aliansi Asosiasi Petani garam Rakyat Indonesia (A2PGRI), juga meminta dilakukan pembenahan menyeluruh khususnya dalam penataan waduk penampungan, lahan penguapan dan meja penggaraman.
Kemudian pemerintah juga melakukan perbaikan saluran primer yaitu pintu air laut, kemudian saluran sekunder ke kolam penguapan dan saluran tersier tempat alat pencucian dan iodisasi.
Sama seperti permintaan petani garam Sampang, petani garam dari Cirebon, Abdurrohi, juga minta ada pembenahan jalur transportasi. "Selama ini, kami dianak tirikan karena tidak ada pabrik pengolahan," ujar Abdurrohi yang juga anggota Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGASI).
Menteri Perindustrian, MS Hidayat, menyatakan berjanji akan segera membuat road map untuk pembenahan industri garam baik di Madura maupun di wilayah lain. Akan tetapi, yang perlu dilakukan ialah menyamakan data baik produksi maupun lahan, antar kementerian terkait, baik Perindustrian, Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Kalau datanya berbeda, sampai kapan pun akan sulit dilakukan pembenahan," tutur Hidayat.