Selasa 29 Nov 2011 18:17 WIB

MUI Siapkan Naskah Akademik RUU Kerukunan Umat Beragama

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan UU Kerukunan Umat Beragama (KUB) kelak tak akan mereduksi hak asasi manusia.  Justru akan menjamin terlindunginya HAM memeluk agama dan menjalankan keyakinan masing-masing

Ketua MUI Bidang Kerukunan Antarumat Beragama, Slamet Effendy Yusuf, menilai sikap apriori sejumlah kalangan terhadap draft RUU yang sedang digodok DPR itu kurang tepat. Mereka menganggap bahwa UU itu nantinya akan mengancam HAM. Padahal, banyak pihak telah melupakan ketentuan ham yang berlaku di internasional ataupun nasional. Ketentuan itu menyebutkan dalam pelaksanannya HAM boleh ada pembatasan dan penganturan. Asalkan, diatur dalam UU.

Di Indonesia, katanya, ketentuan tersebut termaktub dalam UUD 1945 Pasal 28 J. Demi terpenuhinya hak-hak itu sendiri, maka pembatasan dan pengaturan sah dilakukan. Hal itu dengan mempertimbangkan berbagai nilai dan kondisi yang berkembang di masyarakat.

Karenanya, ia meminta semua pihak agar tidak antipati. Apalagi, pembahasan draft tersebut masih memerlukan proses panjang. Peluang pembahasan dan masukan terbuka luas.  “Jadi kalau dianggap ancam HAM itu mengada-ada dan buruk sangka,”jelasnya usai rapat pimpinan MUI di Jakarta,  Selasa (29/11)  

Ia menambahkan, pihaknya telah menyiapkan naskah akademik draft RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB). Keberadaan naskah tersebut dimaksudkan sebagai masukan bagi pihak terkait, DPR dan Pemerintah. Prinsip utama dalam naskah akademik MUI itu ialah memelihara kemajemukan, kebebasan di tengah kemajemukan dan mencegah konflik sosial yang bisa mengganggu integritas nasional.  Hingga saat ini, pihaknya masih menunggu hasil rumusan akhir dari DPR.  Komunikasi dan lobi terus diupayakan.       

Ketua Komisi Kerukunan Antarumat Beragama MUI, Maneger Nasution, menambahkan usulan paling mendasar dalam naskah itu ialah soal penyebaran agama dan pendirian rumah ibadah. MUI menginginkan agar penyebaran agama hanya boleh ditujukan bagi mereka yang belum memiliki agama. “Ini sangat sensitif,”katanya

MUI, katanya, berupaya mencari rumusan yang terbaik. Intinya tetap memperjuangkan agar Peraturan Bersama Menteri No 8 dan 9 Tahun 2006 Tentang Kerukunan dan Keharmonisan Antar Umat Beragama diadopsi sebagai materi dasar UU. Usulan ini mengingat selama ini PBM tersebut tidak memiliki daya ikat yang kuat.  “Kita harus punya regulasi itu,”tegasnya

Menurut  Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Nanat Fatah Natsir, keberadaan regulasi berupa UU dinilai penting dan urgen. Subtansi UU hendaknya tidak masuk ke ranah keyakinan. Tetapi lebih menekankan pada pola interaksi antarumat beragama. Membina hubungan antarpemeluk agama sangat esensial. “Bagaimana memnciptakan hidup rukun itulah yang harus jadi subtansi UU,”kata mantan Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Jawa Barat itu.

Guru Besar Sosiologi ini menilai pemerintah memiliki peran pengaturan hubungan antarumat tersebut. Tetapi wewenang negara tidak boleh sampai menyentuh dimensi akidah dan ibadah. Melainkan hanya mengatur agar kerukunan antarumat beragama terwujud.

Pengaturan itu sendiri diangapanya bukan bentuk ancaman bagi HAM. Justru HAM harus ada tanggangjawab individu dan sosial. Kebebasan individu tidak boleh bertentangan dengan hak bebas orang lain. Soal bagaimanakah konsep ideal UU, ia menganggap perlunya diskusi antarpihak terkait. “Bagaimana bentuknya nanti harus dididikusikan,”katanya   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement