REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak membantah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang penyimpangan dana bantuan sosial (bansos) oleh parpol sebanyak Rp 300 triliun. Catatan Kemendagri, temuan penyimpangan dana bansos itu valid dan merupakan akumulasi periode 2007 hingga 2010, yang dialokasikan pemerintah daerah maupun pusat.
Juru Bicara Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengatakan, Peraturan Mendagri (Permendagri) Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedemon Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur alokasi hibah bansos. Regulasi itu diperkuat dengan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011, yang dijadakan dasar penyusunan anggaran pemerintah daerah (pemda).
Aturan tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2012, dan memuat larangan pencairan dana bansos menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dasar penyusunan aturan itu, kata Reydonnyzar, hasil konsultasi Mendagri dengan kepolisian dan KPK agar dana bansos tak diselewengkan. Karena potensi penyelewengan sangat besar dan terjadi menyeluruh di daerah, terutama kepala daerah yang menjadi petinggi parpol.
Dikatakannya, alokasi dana bansos memang bukan tidak boleh, namun juga tidak dilarang untuk tak dialokasikan dalam APBD. Sayangnya, banyak kepala daerah yang mengalokasikan dana bansos secara berlebihan. Hal itu terjadi menjelang pilkada dan incumbent ikut berkompetisi agar terpilih menjabat dua periode.
Modusnya, kata Reydonnyzar, kepala daerah bersangkutan memperbesar alokasi dana bansos yang dicairkan mendekati masa kampanye. Ia mencontohkan, ada daerah yang mengalokasikan bansos sampai Rp 900 miliar, padahal total anggarannya hanya beberapa triliun rupiah.
"Kami akui dana bansos ini sering diselewengkan. Tapi, adanya aturan baru ini dana bansos tak lagi bisa diselewengkan," kata Reydonnyzar kepada Republika, Selasa (29/11).
Menurutnya, jika selama ini mekanisme perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pembuatan laporan, serta pertanggungjawabannya tidak pernah jelas. Maka, adanya aturan baru itu membuat setiap kepala daerah tak bisa lagi seenaknya mencairkan dana bansos.
Ia mengungkapkan, aturan itu membuat tidak sedikit kepala daerah komplain ke Kemendagri, sebab tak lagi leluasa menggunakan anggaran. Pihaknya mengakui, praktik akumulasi dugaan penyimpangan dana bansos dari tahun ke tahun terus meningkat.
Perilaku tersebut menjadi keuntungan incumbent untuk terpilih kembali dengan memanfaatkan dana bansos untuk digunakan kampanye. Dampaknya, serapan anggaran tidak ditujukan untuk pembangunan, dan masyarakat bawah tidak merasakan belanja langsung APBD.
"Hibah dan bansos itu membuat anggaran menjadi elitis dana tidak dinikmati publik," kata Reydonnyzar.
Karena itu, pihaknya mempersilakan KPK maupun kepolisian jika menemukan penyimpangan yang dilakukan kepala daerah terkait penyaluran dana bansos. Pihaknya tak akan menutup-nutupi dan siap membantu membeberkan data terkait anggaran bansos di setiap pemda.
"Silakan penegak hukum menindak jika ditemukan adanya pelanggaran dana bansos," tuturnya.