REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung telah melakukan eksaminasi terhadap hakim-hakim yang memberi putusan bebas untuk terpidana korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi. Dari hasil pemeriksaan, diketahui bahwa telah terjadi pelanggaran teknis yang dilakukan oleh majelis hakim.
Ketua Muda MA bidang Pidana Khusus, Djoko Sarwoko, mengungkapkan pelanggaran tersebut baru sebatas pelanggaran teknis perkara majelis hakim selama persidangan, bukan pelanggaran kode etik dan disiplin. Itu pun baru bisa disampaikan ketika perkara sudah berkekuatan hukum tetap (sampai pada tingkat kasasi).
"Kalau kesalahan yang bersifat teknis ada. Tapi kesimpulan itu tidak akan diumumkan, sebelum perkaranya putus di tingkat kasasi," ujar Djoko di sela seminar nasional "Rezim Perampasan Aset untuk Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,' di Jakarta, Senin (28/11).
Djoko menjelaskan eksaminasi dilakukan atas laporan vonis bebas pada perkara di Pengadilan Tipikor di Surabaya (5 perkara), Samarinda (3 atau 4 perkara), Bandung (3 perkara) dan Lampung (2 perkara).
Untuk pelanggaran kode etik dan disiplin, ungkap Djoko, akan menjadi ranah Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Bentuknya, berupa Majelis Kehormatan Hakim. Djoko pun mengaku tidak masuk kepada pelanggaran pidana. Dia berdalih bahwa pidana merupakan urusan penegak hukum seperti KPK.
Menurutnya, penundaan pengumuman untuk menghormati proses perjalanan suatu perkara. Djoko menjelaskan jangan sampai pengumuman dilakukan sehingga mendahului apa yang akan diputuskan dalam perkara. "Jangan sampai mendahului apa yang akan diputuskan dalam perkara," tambah Djoko.
Meski menemukan pelanggaran, Djoko menegaskan masih mendukung keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah. Bahkan, Djoko mengkritik pihak yang pro pembubaran pengadilan daerah sebagai pihak pro koruptor.
Jika Pengadilan Tipikor daerah dibubarkan, jelasnya, akan membuat koruptor lepas dari hukum dan lari dari daerah mana pun. Meski demikian, Djoko mengaku akan menunggu bagaimana bunyi revisi Undang-Undang 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Karena katanya UU No 46 tentang Pengadilan Tipikor itu mau direvisi, kita kan hanya melaksanakan UU saja," ujarnya.
Terkait adanya wacana hakim terbang jika Pengadilan Tipikor daerah dibubarkan, Djoko justru menilai isu tersebut
kontraproduktif dengan gerakan pemberantasan korupsi. Pasalnya, biaya hakim terbang jauh lebih mahal dengan perkara yang ditangani.