REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Pakar media Inggreis, Prof Mark Hobart dari School of Oriental and African Studies (SOAS) mengakui bahwa televisi menjadi bagian penting dari masyarakat dan kotak ajaib tersebut telah mengubah wajah dunia, termasuk Indonesia.
"Masyarakat bahkan lebih memperhatikan televisi daripada REPELITA (tahapan rancangan pembangunan yang digagas Presiden Soeharto)," ujar Prof Hobart dalam pemaparannya di hadapan anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) London, Sabtu (26/11).
Ketua PPI London , Rosyid Nurul Hakim kepada ANTARA London, menyebutkan bahwa tema diskusi yang digelar itu adalah tentang riset sang profesor terhadap Indonesia dari sudut pandang media dan budaya. Puluhan pelajar Indonesia yang sebagian besar sedang mengambil program master itu tampak serius mendengarkan pemaparan dari pria yang sempat lama tinggal di Bali tersebut.
Prof Mark Hobart pada mulanya adalah seorang antropolog. Pada sekitar tahun 1970-an dia datang ke Bali untuk meneliti tentang budaya dan filosofi masyarakat Pulau Dewata itu dari kacamata antropologi.
Namun, selama masa penelitiannya, dia justru menemukan bahwa media yang bernama televisi telah mengambil hati hampir seluruh masyarakat Bali yang ditemuinya. Bahkan mungkin sudah membius masyarakat Indonesia pada umumnya.
Berawal dari temuan itulah, akhirnya Profesor Mark Hobart justru tertarik untuk menganalisa dan memahami kondisi yang saat itu terjadi. Sebuah kondisi yang memposisikan televisi menjadi bagian integral dari masyarakat. Berangkat dari ketertarikan itulah, profesor yang menikahi wanita Bali ini mencoba bidang baru yaitu di bidang studi media dan budaya.
Penelitiannya tentang media dan masyarakat dimulai sejak tahun 1990 hingga saat ini. Jam terbangnya yang sudah sangat tinggi itulah yang kemudian membuatnya menjadi ahli di bidang Critical Media dan Cultural Studies.
Sebenarnya, ujarnya, masyarakat sebagai pihak yang mengkonsumsi media, sering kali tidak benar-benar mengetahui apa yang diberitakan, ujarnya. Seperti tentang kejadian Perang Teluk. Masyarakat Indonesia tentu melihat apa yang terjadi di perang itu melalui konten berita yang ditontonnya.
Tapi apakah apa yang benar-benar terjadi di lokasi Perang Teluk itu seperti yang digambarkan ? Hal itulah yang masih menjadi pertanyaan, tanyanya.
Menurut Profesor Hobart, berita yang ada di media akan sulit untuk mencoba menggambarkan realitas yang ada. Karena banyak intervensi yang terjadi sebelum berita itu benar-benar disuguhkan pada penontonnya. "Berita itu seolah dimediasi oleh para elit-elit yang berada pada posisi produser," ungkapnya.
Pengaruh inilah yang kemudian mempolarisasi konten-konten media. Karena itu untuk mencoba mendapatkan kenyataan yang sebenarnya terjadi, penonton harus mempu mengkomparasi konten-konten berita dari berbagai macam media.