REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah diharapkan melakukan audit keuangan terhadap PT. Freeport Indonesia terkait dengan gagalnya perusahaan tambang tembaga tersebut dalam memberikan kesejahteraan terhadap karyawan dan masyarakat adat sekitar.
"Saya merekomendasikan PT. Freeport Indonesia segera diaudit, bisa melalui Tim Kepresidenan, atau DPR karena hal ini cukup serius mengingat jumlah karyawan yang mencapai 22.000 dengan jumlah keluarga mencapai puluhan ribu. Usul saya didirikan saja pansus biar penanganannya serius," kata Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Hariz Azhar, di Jakarta, Senin.
Menurut Hariz, sebetulnya ketidakadilan dan ketidaksejahteraan itu tidak hanya dialami oleh karyawan, tetapi juga oleh masyarakat terutama di enam suku yang ada di sekitar Timika.
Oleh karena itu, harus ada satu tim khusus yang "extraordinary" untuk mengevaluasi dan mencari tahu kenapa karyawan PT. Freeport Indonesia tidak disejahterakan, kata Hariz di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.
Tim tersebut juga diharapkan bisa memastikan kenapa aparat keamanan gagal mengungkap kasus penembakan-penembakan sehingga menciptakan ketidakamanan buat masyarakat dan karyawan PT. Freeport.
Selain itu, Tim juga harus bisa mengungkap apakah Freeport itu membayar pajak mengingat nama Gayus Tambunan menyeret nama Freeport dalam kasusnya. "Itu harus dibongkar dan diteruskan (penyelidikannya)," kata Hariz.
Kasus Freeport yang sudah banyak terjadi memunculkan pertanyaan apakah pemerintah mau menangani masalah ini. "Melihat karyawan yang mencapai 22.000 dan keluarganya yang mencapai kemungkinan ratusan ribu merupakan persoalan bangsa, persoalan nasionalisme. Jadi kalau ingin membuktikan nasionalisme pemerintah hari ini, maka bela karyawan," katanya.
Karena kalau yang dibela PT. Freeport maka pemerintah kitalah yang antinasionalis, kata Hariz. Kontras bersama YLBHI dan Forum Kerjasama LSM Papua mengecam tindakan PT. Freeport yang menjadikan Kepolisian sebagai tameng perusahaan untuk membungkam suara buruh.
Mereka juga mengecam tindakan PT. Freeport yang menolak melakukan Perjanjian Kerja Bersama dengan buruh. Selain itu, tindakan aparat kepolisian yang memberikan ultimatum kepada para buruh untuk melakukan pemogokan kerja adalah tidak dibenarkan.
Permasalahan utama pemogokan kerja tersebut adalah pemenuhan kesejahteraan para buruh dengan mengubah Perjanjian Kerja Bersama yang di dalamnya termasuk persoalan bagaimana meningkatkan upah bagi para pekerja di PT. Freeport, kata Wakil Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma.
Pasal 25 Undang-Undang nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh menyatakan dengan jelas serikat buruh berhak membuat Perjanjian Kerja Bersama dengan pengusaha dan pasal 27 menyebutkan bahwa serikat buruh berkewajiban melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya, serta memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya.
Menurut Alvon, keuntungan yang diperoleh oleh pihak perusahaan itu sangat tinggi sementara pengembalian keuntungan kepada para buruhnya sangat kecil, Oleh sebab itu sangat wajar sekali apabila para buruh meminta upah yang lebih jika dibandingkan dengan upah buruh dari perusahaan sejenis di luar negeri.
Sebelumnya, Polres Mimika, Papua, memberikan ultimatum kepada Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK SPSI) PT Freeport Indonesia untuk tidak menggelar aksi mogok di Check Point 1 Mile 28, Mil 27 dan Gorong-gorong Timika.
Ultimatum yang disampaikan Kapolres Mimika AKBP Deny Edward Siregar dalam surat resmi tanggal 30 Oktober 2011 yang ditujukan kepada PUK SP-KEP SPSI PT Freeport Indonesia itu juga disertai permintaan untuk segera membuka akses jalan yang ditutup para pengunjuk rasa.