Kamis 20 Oct 2011 18:54 WIB

Presiden Abaikan Separatisme di Papua?

Rep: erdy nasrul/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Presiden SBY dinilai mengabaikan gerakan separatis di Papua, karena dia sudah pernah diberitahukan masalah tersebut sejak menjadi Menkopolkam di era Presiden Megawati Soekarno Putri. Ketika itu dibentuk bagian khusus untuk menangani gerakan separatis di Papua yang bertanggung jawab kepada presiden.

"Saya dulu deputinya SBY saat beliau menjadi Menkpolkam," jelas Anggota Komisi I DPR, Gamari Sutrisno saat dihubungi. Dia menilai permasalah gerakan separatis Papua bukanlah hal baru, namun anehnya, pemerintah lamban dan tidak serius mengatasinya.

Di saat gerakan separatis Papua bergejolak, menyusun rencana untuk memerdekakan diri, Presiden justru sibuk memikirkan reshuffle di tubuh kabinetnya. Gamari menilai perhatian terhadap gerakan separatis dan reshuffle adalah penting, namun bukan berarti salah satunya harus diabaikan. "Keduanya harus tetap ditangani serius," jelasnya.

Wakil Ketua Komisi I, TB Hasanuddin, menjelaskan masalah munculnya gerakan separatis di papua sangat kompleks. Pertama ada perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dengan masyarakat disana. Pemerintah pusat menilai Papua adalah bagian dari Indonesia. Sedangkan masyarakat Papua masih ada yang menilai integrasi dengan Indonesia belum final, sehingga masih ada kesempatan untuk memisahkan diri. "Jejak pendapat antara kedua belah pihak dianggap belum final," jelasnya.

Kedua, Masyarakat Papua dimarginalkan pemerintah pusat. Kesejahteraan dan pembangunan yang terjadi disana dinilai belum mencukupi, karena tidak sebanding dengan nilai kekayaan alam berupa emas Freeport yang selama ini dikeruk untuk kepentingan pemerintah pusat. Pemberian predikan otonomi khusus juga masih belum maksimal dilaksanakan disana, karena dinilai belum mampu mengentaskan kemiskinan.

Pelanggaran HAM yang terjadi sejak dulu membekas di hati Masyarakat Papua, sehingga mereka berkeyakinan lebih baik mendukung gerakan separatis. Tokoh papua merdeka seperti Teis yang ditembak mati begitu dikenang dan menjadi sumber yang membakar semangat mereka untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Sibuk memikirkan reshuffle menurutnya menyebabkan pemerintah alpa memperhatikan papua. "Ini tidak bisa dibiarkan," jelasnya.

Dia mengatakan Komisi I sudah sejak beberapa tahun lalu mengusulkan agar pemerintah melakukan dialog dengan pihak mereka, namun selalu diabaikan. Hasanuddin menyatakan pemerintah sempat mengusulkan untuk berdialog dengan bantuan mediasi tokoh masyarakat.

Pemerintah menolak untuk berdialog dengan bantuan Negara Asing. "Tapi sampai sekarang tak terlaksana," jelasnya. Dia mengatakan jangan sampai pemerintah terus menerus tidak hadir memperhatikan papua, karena ini bisa mengancam kedaulatan NKRI.

Anggota DPD dari Papua, Paulus Yohanes Sumino, menyatakan ada keanehan dengan munculnya gerakan mendirikan pemerintahan baru ini. "Mereka terlihat begitu berani mendeklarasikan struktur pemerintahan untuk merdeka," jelasnya. Padahal, sebelumnya tokoh-tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) sudah menyetujui berdialog dengan pemerintah.

Dia menyebut tokoh-tokoh pembesar OPM seperti Kenji di Papua Nugini, Yoku di Australia, sudah menginginkan berdialog dengan pemerintah. Mereka kabur ke luar negeri karena khawatir ditangkap Pemerintah Indonesia.

Dia mengatakan rencana membuat Papua Barat merdeka ini adalah gerakan separatis baru, karena selama hampir empat periode dia menjadi ketua DPRD Papua, belum pernah ada rencana yang berani untuk mendeklarasikan diri.

Paulus menyatakan rencana OPM yang begitu berani ini berasal dari kesalahan memahami komunikasi antara masyarakat papua di kampung halaman dengan yang berada di Inggris, Benny Wenda. "Keberadaan Benny Wenda di Inggris dan masyarakat Papua di luar negeri lainnya ditafsirkan bahwa negara-negara asing itu akan mendukung Papua merdeka, padahal tidak," paparnya.

Dia menilai apa yang dilakukan aparat di lapangan adalah bentuk kekecewaan melihat aksi separatisme yang brutal. Paulus menyatakan setidaknya rencana papua merdeka ini didukung masyarakat papua bersenjata laras panjang yang jumlahnya mencapai sekitar 200 orang. Mereka mendapatkan senjata dengan mencuri Alutsista Polri dan TNI disana. "Jumlah mereka tidak banyak, namun jika dibiarkan tentu akan membesar," jelasnya.

Sekelompok orang yang tergabung di Kongres Rakyat Papua III, di Lapangan Zakeus, Waena, Jayapura, akan mendeklarasikan Papua Merdeka. Usaha tersebut digagalkan oleh Polri dan TNI. Sejumlah 187 orang ditangkap. Mereka terdiri dari 129 laki-laki dan 58 perempuan.

Komnas HAM Papua melaporkan, penangkapan bermula dari ketua panitia kongres tersebut, Selfius Bobi, membacakan hasil pemilihan presiden dan perdana menteri. Forkorus Yaboisembut terpilih menjadi presiden Papua Barat. Sedangkan yang terpilih sebagai Perdana Menteri adalah Edison G Waromi.

Selesai acara, Selfius meninggalkan tempat kongres. Saat masuk kedalam mobil, dia langsung digerebek aparat gabungan untuk diamankan. "Mereka yang mengikuti kongres hampir semuanya ditangkap," ujar Fritz Ramanday, Staff Komnas HAM Papua, melalui pesan singkat kepada Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement