REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Air bersih masih menjadi 'barang mewah' bagi sebagian warga. Wakil Menteri Badan Perencenaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Lukita Dinarsyah Tuwo, mengatakan sebanyak 60 juta penduduk Indonesia saat ini tidak memiliki akses terhadap air besih.
"Padahal, target MDGs untuk akses air minum layak yang harus dicapai sebesar 21,16 persen. Itu berarti masih ada 60 juta jiwa yang harus dipercepat penanganannya," katanya dalam Konferensi Sanitasi Air Minum Nasional (KSAN), di Hotel Sahid, Jakarta, tadi siang.
Hingga akhir tahun 2009, katanya, cakupan pelayanan secara nasional terhadap sumber air minum layak hanya 47,71 persen. Sedang fasilitas sanitasi dasar layak hanya mencapai 51,19 persen. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan mengingat terget Sasaran MDGs di sektor air minum dan sanitasi adalah mengurangi hingga separuh jumlah penduduk tidak memiliki akses terhadap sumber air minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015.
"Artinya, sebesar 68,87 persen penduduk Indonesia harus memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan sebesar 62,41 persen penduduk memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar yang layak pada 2015," katanya.
Ia mengimbau banyak pihak untuk tuut terlibat dalam penyediaan air bersih ini. Pasalnya, menurut Lukita, jika mengandalkan dana APBN, maka akan lebih lama terwujud.
Dana APBNuntuk penyediaan air bersih, katanya, hanya dapat mencukupi sebesar 48,5 persen dari total kebutuhan sebesar Rp 31,6 triliun.
"Ini adalah tantangan luar biasa bagi kita bersama. Ini tidak mungkin bisa ditanggung pemerintah saja, maka dari itu pemerintah sangat mengharapkan partisipasi masyarakat dan swasta," katanya.
Konferensi diikuti seluruh stakeholder dalam bidang sanitasi dan penyediaan air bersih dari 33 provinsi di Indonesia. Dari kalangan swasta, mereka yang turut andil menyediakan air bersih melalui program CSR mereka juga dilibatkan.
Direktur CSR Danone Aqua, Sonny Sukada, dalam konferensi itu menyatakan upaya perusahaannya membantu penyediaan air bersih melalui program Aqua Lestari. "Program ini sudah berjalan selama lebih dari lima tahun di tujuh provinsi," katanya.
Program ini dilakukan melalui pendekatan terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya air dari hulu ke hilir daerah aliran sungai. Selain di sekitar 14 pabrik mereka, program ini juga menjangkau daerah sulit air lainnya, antara lain di provinsi Nusa Tenggara Timur.