Rabu 21 Sep 2011 19:50 WIB

Larangan Cadar Hanya Dalih Membenarkan Kebencian Terhadap Islam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Djibril Muhammad
Cadar. Ilustrasi
Foto: .
Cadar. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, ZURICH - Di negara barat kebencian terhadap Islam digunakan untuk membenarkan kebijakan luar negeri, terutama AS. Dalih tersebut lantas tertuang dalam bentuk kebijakan standar ganda yang bertujuan mengobarkan perang atas nama agama bukan mendorong toleransi.

Demikian diungkapkan peserta dialog 'Satu Muda Dunia' asal Latvia Anastasia Karklina, 19 tahun. Diskusi ini melibatkan penganut agama-agama besar di dunia.

Digagas organisasi nirlaba yang didirikan tokoh periklanan dunia David Jones dan Kate Robertson, dialog ini melibatkan 1.600 undangan, rata-rata berusia 25 tahun dari 190 negara. Anastasia melanjutkan, tidaklah mungkin membangun kerangka dialog antar agama jika muncul larangan burka, jilbab, pembangunan masjid dan hadir sosok pembenci Islam.

"Sulit dan mustahil," papar Mahasiswi jurusan politik, Universitas Duke, North Carolina, AS seperti dikutip nytimes.com, Rabu (21/9).

Seja Majeed, seorang warga Syiah, Irak yang dibesarkan di Inggris dan tinggal di London, dan Ajarat Moyosore, seorang perawat Sunni dari Nigeria yang tinggal di Los Angeles, keduanya sepakat mempromosikan toleransi soal cadar.

Melek Yazici, 23, seorang analis dari Universitas Pittsburgh menyatakan ia dan teman-temannya tidak punya masalah dengan rekan atau sahabat mereka yang mengenakan niqab.

"Di negara asal saya, Turki, perempuan harus mematuhi model berpakaian negara sekuler dan tidak diperkenankan mengenakan jilbab di sekolah atau perguruan tinggi," papar Melek.

Majeed, 25 tahun, meski mendukung toleransi cadar, ia menyatakan agar Muslimah tidak memaksakan diri untuk mengenakan cadar. Sebab, hidup di luar komunitas Muslim, cukup sulit untuk Muslimah. "Ancamannya selalu saja melepas jilbab. Lalu kita dianggap menakutkan," paparnya.

Tidak sependapat dengan rekannya itu, Moyosore, 24, Muslimah tidak harus mengikuti apa yang diharuskan lingkungannya. Yang terpenting, ia melakukannya atas dasar keyakinan. "Saya kira itu hak Muslimah untuk memutuskan," ungkapnya.

Kurshid Ahmed lalu meredakan situasi dengan mengatakan Pakistan tengah menghadapi persoalan yang lebih kompleks yakni korupsi. "Lihat, kita sebenarnya membutuhkan dialog antar agama," kata Deepika Nagabhushan, seorang pengusaha dari Bangalore, India.

"Kita semua berbicara tentang toleransi dan kesamaan antara agama-agama yang berbeda, tapi apakah anda telah toleran dengan agamamu sendiri," ujar Deepika seraya menegaskan bahwa dalam tradisi keluarganya berlaku aturan di mana anda tidak seharusnya menyentuh siapapun lantaran memiliki tanggung jawab sendiri.

Majeed menolak analogi Deepika. Menurutnya cadar bukan persoalan tradisi. cadar identik dengan Islam. "Kita berbicara tentang pandangan seseorang terhadap Islam," tegasnya.

Ahmed, seorang bankir dari daerah pegunungan Gilgit Pakistan menilai persoalan cadar tergantung dari lingkungan dimana Muslimah tinggal. Sebagai contoh, di Inggris, masyarakatnya sehari-hari mengenakan celana jeans, kemeja lengan panjang dan jilbab.

Tapi kebiasaan itu tidak bisa di Pakistan. "Apa yang bisa anda lakukan. Ini adalah persoalan tradisi dan kode berpakaian. Kita harus toleran dan tidak bisa memaksa orang untuk tidak memakai sesuatu," ungkap Ahmed. Nico, seorang pengusaha 34 tahun.

Pengusaha asal Afrika Selatan ini kemudian mempertanyakan hal yang sederhana, "jadi apa yang harus saya katakan kepada anak saya berusia 3 tahun anak untuk menjadi toleran atau tidak," tanya Nico.

"Ada begitu banyak konflik atas nama agama.Tapi kita harus membangun identitas yang kuat," sela Moyosore. Dikotomi penuh dilema Majeed menjadi jelas.

Dia merasa tidak Irak maupun Inggris. "Saya tidak Irak karena saya memiliki aksen Inggris, dan jika saya pergi ke Inggris, saya tidak diterima karena jilbab saya," pungkas Majeed.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement