REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Meski pemerintah sedang mengupayakan renegosiasi tax treaty dengan negara domisili Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas, namun pajak migas tetap harus dibayar. Kebijakan renegosiasi tax treaty tidak membuat kewajiban pajak menjadi hilang.
Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo mengatakan, KKKS harus tetap membayar kewajiban membayar tunggakan pajak sesuai dengan porsi 85-15 persen seperti yang tercantum dalam kontrak kerja sama dengan pemerintah.
"Itu kewajiban harus dibayar dulu, kalau dia banding kan urusan pengadilan (pajak)," kata Mardiasmo usai mengikuti Rakor di Kemenko Perekonomian, Selasa (2/8). Pengadilan pajak yang memutuskan kalau ada gugatan dari KKKS selaku wajib pajak.
Mardiasmo menyampaikan itu terkait dengan dugaan adanya belasan perusahaan migas asing yang menunggak pajak. KKKS menggunakan tax treaty karena memengaruhi penghitungan Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti (PBDR) yang diatur sebelumnya.
Tax treaty berisi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara domisili KKKS. Dengan tax treaty, tarif PBDR menjadi lebih rendah dari 20 persen, sehingga menyebabkan berkurangnya penerimaan pajak. Hal itu membuat konsep 85:15 dalam kontrak bagi hasil tidak tercapai sepenuhnya.
Menurut Mardiasmo, BPKP tetap melihat berdasarkan dari porsi penerimaan yang seharusnya diterima pemerintah 85 persen. Dengan pengurangan pajak yang normal ke tax treaty itu 10 persen di Inggris dan 12,5 persen di Malaysia, maka porsi pemerintah yang 85 persen itu terkurangi.
"Kita punya suatu aturan main, penerimaan negara dari migas bukan dari pajak itu yang harus dilaporkan, makanya kita pertahankan," kata Mardiasmo. BPKP masih menggunakan dasar-dasar yang ada, yakni penerimaan negara tidak boleh berkurang dari 85 persen.