REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Masyarakat miskin di Indonesia terperangkap pada konsumsi rokok yang pengeluaran per bulannya mencapai 70 persen hanya untuk belanja rokok. "Rumah tangga termiskin memiliki pengeluaran untuk membeli rokok sebesar 70 persen dan pengeluaran itu menempati urutan kedua setelah makanan pokok," kata Abdillah Ahsan, Peneliti Lembaga Demografi FEUI, di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, kondisi itu kalau dibiarkan sangat memprihatinkan karena enam dari sepuluh rumah tangga termiskin di Indonesia mengeluarkan uangnya untuk membeli rokok yang menyebabkan beban ekonomi rumah tangga akan meningkat.
Merujuk pada UU No 39 tahun 2007 pasal 66A ayat 1 tentang Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) menyebutkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau akan dibagikan kepada provinsi penghasil cukai sebesar dua persen, atau pada 2010 lalu sekitar Rp 1,1 triliun, katanya.
"Dana itu akan digunakan untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial dan sosialisasi di bidang cukai dan pemberantasan kena cukai ilegal," kata dia.
Dari lima alokasi dana itu, lanjut dia, hanya pada pembinaan lingkungan sosial yang dapat digunakan untuk promosi kesehatan atas efek buruk rokok, penciptaan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan.
Pada kesempatan yang sama Kepala Seksi Dana Bagi Hasil Pajak Kementerian Keuangan, Lesmana, mengatakan penggunakan dana pajak itu difokuskan untuk bidang kesehatan terutama di daerah penghasil tembakau tersebut. "Dengan adanya program itu, pemerintah daerah diharapkan juga bisa memberikan pelatihan dan ketrampilan dalam bidang usaha lainnya selain rokok," kata dia.
Sejauh ini pembinaan yang sudah dilakukan, kata dia, berupa pengawasan industri rokok dan lingkungan sosial penghasil rokok serta pencegahan rokok yang ilegal.
Dikatakannya, daerah yang menerima dana DBHCHT meliputi lima provinsi yaitu, Sumatra Utara, Jawa Barat , Jawa Tengah, DIY Yogyakarta dan Jawa Timur.