Oleh: Any Setianingrum MESy
Tamu agung, Bulan Ramadhan, tak lama lagi akan datang, dengan membawa keberkahan kepada hampir semua level bisnis, dari mall-mall elit yang bertengger di jantung-jantung kota besar, hingga pasar-pasar tradisional dan para pedagang atau tukang kredit keliling di seluruh pelosok tanah air. Dari pengusaha mapan hingga musiman banyak bermandi rejeki. Tidak sedikit yang menjadikan keuntungan usaha di bulan Ramadhan sebagai tulang punggung untuk pendapatan 1 tahun tersebut. Lonjakan omzet tidak hanya dialami oleh sektor usaha yang menyediakan kebutuhan utama, seperti bisnis makanan buka puasa dan sahur, busana muslim dan perlengkapan ibadah, namun juga terjadi pada segala sektor usaha yang terkait dengan adanya perubahan gaya hidup di bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Jadi pantaslah disebut pada bulan Ramadhan di Indonesia terdapat 1001 bisnis.
Sebagai ilustrasi, di bulan-bulan biasa, jumlah pemirsa televisi pukul 02.00 hingga 06.00 di kisaran 707 ribu, pada bulan Ramadhan membludak menjadi 5,22 juta pasang mata, melonjak sekitar 725 persen (Sumber: AGB Nielsen Media Research, 2006).
Data dari perum pegadaian pada tahun-tahun sebelumnya, lonjakan omzet mengalami kenaikan dari 10-40 persen pada masing-masing cabang. Di berbagai pemberitaan penjualan tiket KA dari Jakarta ke berbagai daerah tujuan untuk H-7, H-6, H-5, H-4 sudah terjual ludes sebanyak 64.200 tiket.
Islam memberi apresiasi tinggi pada profesi bisnis yang dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Rasulullah SAW bersabda, "Pedagang yang jujur dan amanah kelak pada hari Kiamat bersama-sama para nabi, shidiqin, dan para syuhada." (HR A Tirmidzi & Ibnu Majah).
Rasulullah Saw dan sebagian besar sahabatnya adalah para pedagang berskala internasional dengan integritas dan kompetensi yang tidak diragukan lagi. Berbagai keteladanan mereka dalam berbisnis selalu relevan dan bisa dijadikan inspirasi serta kiat sukses berbisnis yang sangat universal. Salah satu keteladanannya adalah Rasulullah Saw membuktikan bahwa uang bukanlah modal utama dalam berbisnis, namun sifat Siddiq (benar dalam kata dan perbuatan), amanah (dapat dipercaya), fathonah (cerdas) dan tabligh-lah (menyampaikan risalah Allah Swt) yang menjadi kunci kesuksesan. Seiring dengan kesuksesan bisnis Rasul Saw dan Sahabatnya, keteladanan lainnya adalah dalam prestasi zakat infak shodaqoh dan wakaf mereka yang sangat fantastis jumlahnya jika dibandingkan dengan fenomena zaman sekarang.
Pada saat ini dari data yang ada terungkap bahwa besarnya jumlah wirausahawan di sebuah negara akan membawa kemajuan pesat bagi negara tersebut. Hasil penelitian Global Entrepreneurship Monitor (GEM) tahun 2009 , kesejahteraan yang dialami Amerika Serikat salah satunya dikarenakan 11 persen penduduknya adalah wirausahawan. Begitu pula Singapura, 7 persen penduduknya menjadi wirausahawan. Bandingkan dengan Indonesia, jumlah wirausahawan baru sekitar 0,18 persen dari total jumlah penduduk. Data lain dari hasil riset Merryl Lynch menyatakan perbandingan orang kaya di Indonesia : AS : Singapura = 1 : 13 : 141.
Berdasarkan paparan tersebut di atas tentu perlu digalakkan jiwa kewirausahaan bagi masyarakat Indonesia. Apalagi potensi sumber daya insani, alam dan pasar negeri ini sangat melimpah. Pertanyaannya adalah, tepatkah jika fenomena bisnis bulan Ramadhan, yang tidak ditemukan dalam bulan-bulan lain, dijadikan momentum untuk menumbuhkan kewirausahaan masyarakat sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi bangsa? Sejarah membuktikan, banyak prestasi gemilang dicapai oleh Rasulullah Saw dan para Sahabatnya di bulan Ramadhan, antara lain adalah Perang Badar dan Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah). Proklamasi kemerdekaan RI juga terjadi di bulan Ramadhan. Saat ini bangsa Indonesia tentu tidak harus berperang secara fisik melawan musuh/penjajah. Yang perlu diperangi saat ini adalah kemiskinan, pengangguran, dominasi produk-produk asing yang mematikan produk-produk lokal, monopoli atau konglomerasi oleh segelintir pelaku usaha yang melumpuhkan usaha-usaha kecil yang jumlahnya mayoritas, serta aksi-aksi KKN yang menyertainya.
Fenomena bisnis yang hanya terdapat pada bulan Ramadhan di Indonesia sudah saatnya dijadikan momentum lahirnya prestasi ekonomi bangsa. Prestasi ekonomi Ramadhan seharusnya ditandai dengan kebangkitan produk-produk lokal, jika perlu pemerintah menetapkan sebagai bulan perekonomian rakyat atau bulan kemandirian ekonomi atau nama lain yang bisa menggerakkan kewirausahaan. Bangkitnya produk-produk lokal sebagai tuan rumah di negeri sendiri merupakan sinergi antara seluruh level pelaku usaha, sumber daya alam, keunggulan komparatif, kekuatan pasar dalam negeri dan kebijakan pemerintah sebagai hal yang sangat penting dan menentukan. Prestasi ekonomi Ramadhan tersebut memiliki potensi sebagai bulan untuk membangun jiwa kewirausahaan sekaligus memerangi kemiskinan, pengangguran, kesenjangan sosial, dan praktek KKN yang menyertainya, di bulan dimana setan-setan kebatilan harus dibelenggu.
Tentu saja produktivitas dan etos kerja Rasulullah Saw beserta para sahabat berjalan seimbang dengan ibadah-ibadah langsung kepada Allah Swt. Dengan managemen waktu dan sistem prioritas yang prima, kedua jenis ibadah tersebut tidak saling menghambat bahkan saling memperkuat sebagaimana dicontohkan Rasul Saw dan para Sahabat. Bahkan bisnis di bulan Ramadhan bisa dijadikan momentum untuk meraih keberkahan di dunia dan akherat, baik bagi diri, keluarga dan lingkungan, sebagaimana yang ditekankan dalam prinsip ekonomi syariah. Sehingga pertimbangan aspek halal-haram dan manfaat-mudharat harus selalu menjadi pijakan dalam seluruh keputusan bisnis. Dalam prinsip Ekonomi Islam tidak hanya harta yang harus ditumbuhkembangkan, namun keselamatan agama, jiwa, akal dan kehormatan/keturunan juga harus diperhitungkan dengan cermat. Itulah mengapa Bisnis harus selalu menghindar dari maisyir (spekulasi/judi), gharar (ketidakjelasan), riba, dan transaksi yang mengandung unsur kezaliman dan maksiat.
Hikmah dari fenomena bisnis di bulan Ramadhan adalah bagaimana menyikapi tradisi dan keunggulan komparatif yang dimiliki sebagai sumber energi positif untuk bersama-sama memperkuat sektor riil/usaha di dalam negeri. Dalam integritas, kompetensi dan semangat beribadah, bulan 1001 bisnis yang sudah menjadi tradisi mendarah daging, seharusnya bisa dijadikan prestasi ekonomi bagi seluruh rakyat sebagai pemilik paten tradisi tersebut. Sehingga Indonesia yang kaya akan sumber daya laut, hutan, pertanian, perkebunan, peternakan, barang tambang, bahan galian serta jumlah sumber daya insani dan pasar yang besar, bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak hanya sekedar menjadi sasaran empuk pasar produk-produk asing.
Penulis adalah Akademisi dan Pemerhati Ekonomi Syariah