REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Gde Pasek, mengatakan, berbagai alibi yang dilontarkan oleh mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazarudin justru telah terbantahkan dengan sendirinya.
"Alibi yang dibangun oleh Nazarudin terbantahkan dari berbagai sudut. Contohnya, soal kasus wisma atlet, dari urutan waktu sangat tidak mungkin. Jadi justru terbantahkan sendiri," kata ketua DPP PD Gde Pasek pada diskusi Dialektika Demokrasi di Senayan Jakarta, Kamis.
Diskusi yang mengambil tema "Ada apa di balik serangan Nazarudin?," menghadirkan pembicara Ketua DPP PD Gde Pasek, Direktur Indobarometer Muhammad Qodari. Lebih lanjut Pasek menjelaskan juga soal pernyataan Nazarudin terkait dengan penggalangan dana untuk Konggres PD melalui proyek Ambalang. Menurut Gde Pasek, proyek Ambalang tersebut terjadi pada zaman Menpora lama.
Nazarudin, kata Gde Pasek, mengatakan bahwa pada Januari dua berada di komisi II, sedangkan dirinya masuk komisi X baru 29 April 2010. "Waktu kongres di Bandung, ada (kandidat) ada pak Anas, Andi Mallarangeng serta Marzuki Alie. Nah, di dua proyek yang disebutkan Nazarudin (Wisma Atlet dan Ambalang) berada di bawah Menpora (Andi Mallarangeng). Apa iya seorang kandidat mencari dana-dana dari penanggung jawab proyek yang justru menjadi lawan kandidat lainnya. Kan ini tidak mungkin," kata Gde Pasek.
Menurut Gde Pasek, untuk pelaksanaan kongres tersebut masing-masing kandidat keliling. Gde Pasek mengakui bahwa memang ada uang dalam konggres, namun hal itu bukan dalam kategori politik uang.
"Memang benar ada uang dalam kongres. Tapi itu proses penguatan partai. Dan dalam suatu kongres partai, setiap calon pasti membutuhkan dana untuk penggalangan dukungan. Misalnya untuk akomodasi keluar daerah kan perlu ongkos. Tapi bukan untuk jual beli suara seperti yang diungkapkan oleh Nazarudin" kata Gde Pasek.
Menurut Gde Pasek, Anas Urbaningrum terpilih karena Anas menawarkan gagasan untuk melakukan penguatan partai. Selain itu adanya gagasan lain yang dimunculkan adalah mengenai pilkada yang memberikan kesempatan kepada pimpinan daerah untuk lebih memiliki kewenangan besar dalam menentukan calon dan pemenangannya. Sedangkan pusat hanya bersifat memberikan persetujuannya dan pengawasan.
"Siapa di belakang Nazarudin itu, PR kita bersama? Mengapa jelang Rakornas kok Nazar lebih kencang. Dan mungkin setelah Rakornas Nazar juga makin berkoar-koar," kata Gde Pasek, mempertanyakan "nyanyian" Nazarudin tersebut.
Sementara Direktur Indobarometer, M Qodari, menjelaskan bahwa kasus Nazarudin masalah utamanya merupakan persoalan hukum. Karena itu persoalan hukum Nazarudin harus segera diselesaikan. Saat ini persoalan hukum Nazarudin justru sudah bergeser menjadi persoalan politik.
"Kasus hukum Nazarudin ini harus segera diselesaikan. Hal terbaik, Nazarudin harus ditangkap. Jika kasus ini tidak selesai, maka Demokrat akan dibayangi kehancuran di 2014," kata Gde Pasek.
Qodari justru heran dengan polisi maupun KPK yang selama ini telah berhasil menangkap bahkan orang-orang yang diduga terlibat kasus terorisme. Namun, kenapa justru Nazarudin yang dengan terang-terangan melakukan komunikasi langsung melalui telepon bersama dua stasiun televisi tidak bisa ditangkap.
"KPK itu orang ngak publikasi saja bisa disadap. Dan polisi, teroris saja bisa ditangkap. Ini bagaimana Nazarudin telepon langsung kok ngak bisa ditangkap?," kata Qodari.