Rabu 20 Jul 2011 08:26 WIB

Pemerintah Malas Tagih Pajak Rp 80 Triliun

Rep: M Ikhsan Shiddieqy/ Red: Didi Purwadi
Uchok Sky Khadafi
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Uchok Sky Khadafi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai pemerintah malas untuk menagih piutang pajak sebesar Rp 80 triliun. Hal itu juga menandakan pemerintah kurang tegas terhadap wajib pajak. Kondisi tersebut terjadi ketika Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berada dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Hal itu disampaikan Kordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Uchok Sky Khadafi, Rabu (20/7). Pada 2010, potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 80 Triliun. Rinciannya, Ditjen Pajak sebesar Rp 54 Triliun, Ditjen Bea dan Cukai sebesar Rp 16 Triliun, dan piutang migas sebesar Rp 4,2 Triliun.

"Ini belum termasuk temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atas piutang 35 perusahaan migas sebesar Rp 5,2 triliun," kata Uchok.

Kemudian, pada 2009, potensi penerimaan negara juga bisa hilang sebesar Rp 80 Triliun yang berasal dari Ditjen Pajak sebesar Rp 49 Triliun, Ditjen Bea dan Cukai sebesar Rp 13 Triliun, dan piutang migas sebesar Rp 16 Triliun.

Pada 2010, piutang pajak sebesar Rp 54.008.060.540.425 yang ada pada Ditjen Pajak itu akan ditemukan piutang yang telah kadaluwarsa penagihannya sebesar Rp 2.643.980.605.859. Dari piutang pajak yang telah kadaluwarsa tersebut, telah diusulkan penghapusan sebesar Rp 202.240.100.719 dan telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan sebesar Rp 45.802.510.018.

Uchok menilai penting amandemen UU Perpajakan. Selama ini, dalam UU Perpajakan, jangankan partisipasi masyarakat, BPK saja tidak boleh melakukan audit terhadap wajib pajak alias penerimaan negara. Jadi, yang mengetahui wajib pajak adalah Ditjen Pajak saja.

"Perlu melakukan evaluasi kepada kinerja Dirjen Pajak. Karena, Dirjen Pajak ini kelihatan nggak mutu alias tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola penerimaan negara," kata Uchok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement