Selasa 05 Jul 2011 07:31 WIB

Rumah Potong Ayam Sierad Produce: Kami Moderen dan Kami Halal

Suasana di rumah potong ayam Sierad Produce
Foto: Republika.co.id
Suasana di rumah potong ayam Sierad Produce

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Takut mengonsumsi daging keluaran rumah potong hewan? Tak usah cemas. Meski rumah potong hewan (RPH) sudah mengadopsi teknik modern tidak lantas meninggalkan syarat halal. Lagi pula tak ada orang yang berisiko melempar daging potong tak halal di pasar dengan konsumen mayoritas Muslim.

Itu pun disadari betul oleh Rumah Potong Ayang PT Sierad Produce Tbk yang tereletak di Desa Jabon Mekar, Parung, Bogor. Soal jaminan halal, menurut deputi presiden direktur Sierad, Eko Putro Sandjojo, adalah komitmen yang tak bisa ditawar.

Perlu dicatat, dalam RPH, mesin adalah penggerak utama, namun soal sembelih-menyembelih, tetap ditangan manusia. Bayangkan mesin yang bergerak cepat, sementara penyembelih dituntut untuk selalu mengucap Basmallah setiap kali menyayat leher hewan.

Padahal, RPA Sierad, sebagai rumah potong terbesar ketiga--menurut Eko-- memiliki kapasitas potong 8.000 ekor per hari. Apakah itu berarti penyembelih harus mengucap Basmallah sebanyak 8.000 kali pula per hari? “Dengan mesin bergerak cepat, sangat mungkin ayam berikut sudah tiba di depan mata ketika mengucap Basmallah belum tuntas,” ujar Eko

“Pekerjaan itu mungkin dilakukan karena ayam-ayam sebelum disembelih telah dalam keadaan kepala di bawah dan kaki tergantung di conveyor yang berjalan,” ujarnya di RPA Sierad, Bogor, baru-baru ini. Memang, imbuh Eko, perlu ketrampilan khusus agar sekali sayatan di leher ayam sudah langsung memotong nadi leher, esofagus dan trakea.

Pembacaan Basmallah pun sempat menjadi pekerjaan rumah bagi MUI, ketika RPA Sierad berdiri pertama kali pada 1985 silam. Awalnya tutur Eko, MUI pernah memfatwakan penggunaan kaset yang akhirnya dicabut kembali sebab pada dasarnya pengucap basmallah harusnya si penyembelih, bukan orang lain.

Akhirnya, MUI mengeluarkan fatwa lebih baik. Penyembelih yang akan bekerja di RPH, selain seorang Muslim, ia harus sudah mendapat sertifikasi MUI. Sebelum bertugas melakukan penyembelihan dengan cepat, si pemotong diwajibkan berniat, membaca doa dan Basmallah. Dua orang yang bertugas di rumah potong ayam Sierad pun, menurut Eko, telah mengantongi sertifikat MUI

Terkait kontrol kehalalan, setelah disembelih, ayam yang disayat sempurna akan meneteskan darah dari leher hingga habis sehingga karkas menjadi pucat. Tapi kadang sayatan di leher tak sepenuhnya memotong tiga pembuluh wajib tadi. Bila itu terjadi tubuh ayam menjadi merah, karena darah membeku di dalam. Ketika ayam itu ditemukan, petugas dalam rumah potong akan segera menarik ayam tersebut untuk langsung dimusnahkan. "Karena itu sama saja bangkai dan tak mungkin dikonsumsi," kata Eko.

Eko mengaku penerapan standar halal ketat adalah kelebihan di Indonesia. “Karena itulah industri ini terus bertahan,” ujarnya.

Modern dan Konvensional Sama Saja

Menurut Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim, dalam wawancara terpisah, awal pekan ini, pemotongan di RPH pada prinspipnya sama dengan penyembelihan konvensional. Namun, tekannya, karena dibantu mesin sehingga harus diperhatikan teknis penyembelihannya. "Apakah pisau pemotong penjagal menghasilkan pemotongan yang sama dengan pisau yang dikerjakan tangan? Bila tidak maka RPH bersangkutan harus memperbaiki mesin hingga hasil pemotongan sama dengan pengerjaan tangan manusia." paparnya.

Apapun bentuknya, kata Lukmanul, inti dari penyembelihan hewan berlangsung diawal. "Apakah hasil pemotongan itu memutuskan tiga saluran yakni saluran nafas (trakea), tenggorokan (esofagus) dan nadi (pembuluh darah). Ketika tiga saluran itu sudah terputus maka dinyatakan sah. Namun, bila tidak, maka hasil pemotongan dagingnya tidak sah," paparnya.

Kriteria pemotongan dalam RPH, menurut Lukman, tak bisa dioperasikan sembarang orang. "Ada dua syarat kompetensi yang harus dipenuhi, yakni pemahaman syariah dan pemahaman teknis pemotongan dengan mesin," ujarnya.

Seiring berjalan, dua kompetensi ini seolah diabaikan. Dahulu, ungkapnya, penyembelihan hewan hanya dilakukan para kiai dan tokoh agama. Kini, setiap orang bisa menjadi penyembelih hewan tanpa memenuhi dua kompetensi itu tadi.

Karena itu, LPPOM MUI mendorong pelatihan kepada para penyembelih guna memenuhi dua kompetensi tersebut. Dorongan itu tentu membutuhkan bantuan Pemda setempat dan Kementerian Pertanian sebagai pihak yang bersinggungan langsung dengan RPH modern. “Ya, minimal satu atau dua hari sudah cukup,” ujarnya.

Soal niat dan bacaan doa saat hendak menyembelih, Lukman menekankan baik di penyembelihan konvensional maupun di RPH adalah sama. “Tak ada yang berbeda. Mengucapkan Bismillah sudah lebih dari cukup.”

Ia menegaskan meski RPH modern memiliki proses cepat, bukan berarti ucapan doa juga dipaksa mengikuti kecepatan tadi, misal hanya menempel bacaan basmalah pada dinding pemotongan atau hanya mendengarkan kaset bacaan doa. “Itu yang tidak boleh. Semodern apa pun teknologi yang digunakan, bacaan Basmallah harus tetap berasal dari si penyembelih.”

Soal jaminan semua RPH menerapkan prosedur halal, Lukman tak berani memastikan. “Kami juga kesulitan mengetahui apakah teknis-teknis tersebut sudah diketahui atau belum, tapi kami telah mendorong setiap RPH, lewat Pemda dan Kementang untuk memperhatikan betul status kehalalan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement