REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, menilai bahwa penggunaan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya demi melarang kelompok masyarakat yang mampu menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah 'over dosis'. "Saya melihat ini semua sudah menjadi 'over dosis'," ujarnya di Gedung DPR Jakarta, Kamis, menanggapi munculnya fatwa MUI yang mengharamkan orang mampu menggunakan BBM bersubsidi.
Menurut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, apabila melihat bagaimana pernyataan pemerintah, MUI maupun tanggapan publik, maka tersirat adanya keinginan seorang menteri atau pun orang dalam jabatan pemerintahan tertentu untuk menggunakan lembaga setingkat MUI melegalisasi satu kebijakan.
"Lembaga ini harusnya kredibel dan dihormati, tapi kemudian digunakan untuk kebijakan yang sebenarnya juga tidak perlu dilakukan, sehingga saya melihat ini terlalu berlebihan," ujarnya.
Mantan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDIP itu mengatakan bahwa seharusnya MUI juga tidak perlu ikut campur dalam urusan kebijakan publik. Karena sepenuhnya merupakan urusan orang-orang yang bertanggung jawab membuat kebijakan tersebut.
Apabila kemudian persoalan itu dialihkan menjadi masalah halal atau haram, menurut Pramono, maka sama artinya pula dengan akan ada diskriminasi bagi orang yang mampu atau tidak mampu, atau kemudian yang muslim dan non-muslim. "Jadi, ini sebenarnya bukan wilayah yang seharusnya dimasuki oleh MUI," ujarnya.
Ia menilai bahwa inti dari fatwa itu sebenarnya justru bentuk tidak percaya diri menteri yang bersangkutan untuk menggunakan satu kebijakan. Pramono mengatakan, justru merasa kasihan kepada MUI karena apabila fatwa itu ternyata diabaikan oleh publik atau masyarakat yang khususnya merupakan pemeluk agama Islam, maka kredibilitas MUI semakin dipertanyakan.
Apalagi, jika kemudian alasannya bahwa kebijakan sudah disetujui oleh DPR dan Pemerintah, ia mengemukakan, maka acuan yang digunakan adalah aturan main, seperti undang-undang. Sementara itu, ia menambahkan, atas kondisi bahwa ada lebih dari 3 persen kenaikan untuk subsidi BBM, maka itu merupakan tanggung jawab menteri dan departemen terkait dalam mengontrol subsidi.
"Jadi, ini menunjukkan ketidakcerdasan untuk mengambil sikap atau kebijakan terhadap permasalahan yang sebenarnya terang benderang, tidak perlu bersandar pada MUI," ujarnya.