REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi berpotensi menciptakan pengangguran sebanyak 12 ribu orang dalam satu bulan. Pemerintah menekankan pentingnya proses pengalihan profesi bagai TKI yang tidak berangkat ke luar negeri. Langkah antisipasi pun sedang disusun.
"Kita tinggal hitung kalau tiap bulan 12 ribu, kalau tiga bulan ya tinggal dikalikan," kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jumat (24/6).
Dia menyampaikan hal itu ketika ditanya soal potensi pengangguran sebagai dampak moratorium. Dengan alasan itu, kata dia, pemerintah melakukan soft moratorium. Artinya, moratorium tidak bisa dilakukan secara serta merta.
"Karena kita harus memberikan solusi-solusi bagi yang berhasil dan memberikan jalan bagi yang alih profesi," kata Muhaimin menjelaskan.
Dia menegaskan, moratorium ini sebagai jalan memperbaiki semua sistem, tetapi membutuhkan proses, waktu, dan kinerja yang tepat. Menurut Muhaimin, terdapat 1,3 juta TKI yang bekerja dii Arab Saudi. Moratorium melarang TKI yang berangkat ke Arab Saudi, sedang yang sudah berada di sana tidak perlu kembali.
Muhaimin mengelak jika moratorium ini terlambat. Dia beralasan, moratorium tidak bisa dilakukan seketika dan harus dipersiapkan secara matang. Berdasarkan pengalaman, moratorium pengiriman TKI ke Malaysia yang tidak dipersiapkan matang malah membuat TKI yang sudah berada di sana menjadi ilegal.
Pada saat moratorium akan digunakan untuk penyempurnaan memperbaiki sistem secara komprehensif, misalnya daerah basis rekrutmen, pemda harus terlibat proaktif mendeteksi warga agar yang motivasi kerja ke luar negeri, dan penyelenggara akan diselesi maksimal.
TKI di luar negeri ada lima juta, 60 persennya adalah di bidang penatalaksana rumah tangga. Menurut Muhaimin, butuh waktu sepuluh tahun agar TKI yang berprofesi sebagai penatalaksana rumah tangga pada tingkat nol, diganti dengan profesi yang lebih formal.