REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM - Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Edi Saputra alias Supriadi, terancam hukuman mati dengan cara digantung karena dituduh membunuh warga Malaysia, Chai Joon Bui, pada 29 Juli 2006. Untuk menyelamatkan Edi dari hukuman gantung, Koordinator Advokasi Kebijakan Perkumpulan Panca Karsa (PPK) Nusa Tenggara Barat (NTB) Endang Susilowati SH, menemui Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, di Mataram, Kamis (23/6), guna mengonsultasikan upaya penyelamatan tersebut.
"Kami meminta pak Gubernur untuk berkoordinasi dengan KBRI di Kuching untuk mengikuti proses-proses peradilan, agar kasus hukuman pancung yang menimpa TKI Ruyati tidak terulang," ujarnya.
Selain itu, kata Endang, pihaknya mendesak Gubernur NTB untuk ikut menjembatani penyebaran informasi hasil perkembangan proses peradilan kepada keluarga TKI yang menjalani hukuman di Malaysia itu. Hingga kini, Edi yang berasal dari Kampung Kertasari, Simpang Klanir, Kecamatan Sateluk, Kabupaten Sumbawa Barat, itu telah menjalani enam kali sidang di Mahkamah Rendah di Kuching, dan satu kali sidang di Mahkamah Tinggi Kuching, yaitu pada 15 Maret 2007.
"Tapi hingga saat ini belum ada informasi persidangan lanjutan dan belum ada saksi yang dapat meringankan," ujarnya. PPK NTB meminta Gubernur NTB periode 2008-2013 yang berasal dari kalangan ulama dan pernah menjadi anggota Komisi X DPR-RI itu ikut melakukan diplomasi politik untuk menyelamatkan Edi Saputra.
Lembaga advokasi itu juga mengajak kepedulian Pemprov NTB terhadap nasib tiga orang TKI asal NTB divonis 15 tahun penjara di Klang, Johor Bahru, yaitu Muhammadun (40) asal Dusun Glogor, Desa Gelogor, Kabupaten Lombok Barat, yang dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun mulai 3 Juni 2002 dengan massa pemotongan hukuman selama 5 tahun.
Muhammadun diberangkatkan oleh Perusahan Pengerah Jasa Pengerah TKI (PPJTKI) Fortuna Insani, yang direkrut melalui petugas lapangan Abdul Azis. TKI NTB lainnya yakni Samsul Hakim (23) asal Dusun Tempos Daya Kayu Putih, Desa Tempos, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, yang sudah dipenjara sejak 2007, dengan hukuman penjara selama 15 tahun.
Syamsul Hakim diberangkatkan oleh PPJTKI Sabda Rejeki melalui petugas lapangan Munahar. TKI NTB lainnya yang tengah menjalani hukuman di Malaysia yakni Marahum (30) asal Dusun Perempung, Desa Banyu Urip, Kabupaten Lombok Barat, dengan masa hukuman yang sama dengan rekannya Syamsu Hakim. "Ketiga TKI NTB itu dituduh mencuri telepon genggam dan kalung seberat lima gram," ujar Endang.
Menurut dia, berdasarkan data dan informasi yang diperoleh PPK NTB, kini terdapat tujuh orang TKI NTB yang menemui masalah di Malaysia. Selain seorang TKI yang terancam hukuman gantung dan tiga TKI yang menjalani hukuman penjara 15 tahun, juga ada tiga jenasah warga NTB. Ketiga jenasah itu teridentifikasi sebagai Fathul Mubarok bin Faesal (27), asal Dusun Kebun Jurang, Desa Gapuk, Lombok Barat, yang meninggal karena tertembak di bagian dada.
Jenazahnya dibuang di perkebunan dan ditemukan oleh Kepolisian Kota Tabuk pada 21 Agustus 2010. Hingga saat ini, jenazah masih berada di RS King Kholik dan belum ada penanganan dari pemerintah. Jenasah kedua yakni Warni binti Mahrip Sahmin (29), asal Dusun Dasan Baru, Desa Ubung, Lombok Tengah, yang melakukan bunuh diri pada 4 Juni 2010. Jenazah telah dipulangkan pada Maret 2011.
Jenazah ketiga yakni Nurul Alfiah binti Muhtar Lano (30), asal Kabupaten Lombok Tengah, yang diduga meninggal dunia karena sakit serius. "Kami sudah pernah mengirimkan surat ke Dirjen terkait di Kementerian Luar Negeri, namun hingga kini belum ada tanggapan ataupun tindakan yang diambil oleh pemerintah," ujarnya.
Karena itu, kata Endang, pihaknya tengah mengupayakan pengacara bagi Samsul Hakim dan Marahum, sehingga hukumannya bisa diringankan. Karena selama menjalani proses pengadilan, kedua TKI NTB itu tidak didampingi pengacara. PPPK NTB juga tengah mengupayakan asuransi untuk biaya pengacara, sebagaimana diatur dalam Kepmen Nomor 7 Tahun 2010 yang menegaskan bahwa klaim asuransi dapat mencapai Rp 100 juta untuk biaya bantuan hukum.
"Kami juga mendesak Pak Gubernur agar memanggil PJTKI yang memberangkatkan para TKI tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dan diberikan sanksi yang tegas," ujarnya.