REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH mengusulkan penataran atau pendidikan dan latihan (diklat) tentang Pancasila dengan model multikultural.
"Saya setuju ada penataran Pancasila, tapi caranya jangan seperti dulu," katanya dalam kuliah tamu bertajuk "Bela Negara" memperingati Dies Natalis ke-52 UPN Veteran Jatim di Surabaya, Kamis (9/6).
Di hadapan puluhan dosen dan mahasiswa setempat, ia menjelaskan diklat atau penataran Pancasila harus disesuaikan dengan situasi. Karena itu, ia menekankan penataran Pancasila sekarang harus bersifat multikultural.
"Untuk jangka pendek perlu penataran atau diklat secara multikultural. Penataran model multikultural itu membahas Pancasila dengan melibatkan berbagai pihak yang majemuk," katanya.
Ia mencontohkan diklat Pancasila model multikultural itu merupakan diskusi tentang Pancasila yang melibatkan kelompok Ahmadiyah, NII, Islam Liberal, Hindu, Kristen, dan kelompok agama lainnya.
"Untuk contoh lain bisa saja diklat Pancasila yang melibatkan pejabat bersama masyarakat bawah dan bahkan LSM serta tokoh masyarakat," kata Guru Besar Hukum Tata Negara UI itu.
Untuk itu, penasihat Komisi Negara bidang HAM itu mengatakan Presiden harus membentuk Dewan Nasional Pembudayaan Pancasila dan UUD 1945. Dewan itu nanti, imbuhnya, bertugas mengurusi pendidikan Pancasila, baik pendidikan dalam sekolah maupun pendidikan luar sekolah seperti diklat/penataran.
"Kalau pendidikan di sekolah itu bisa berbentuk kurikulum, tapi kalau pendidikan luar sekolah menggunakan model multikultural, apakah di kalangan politisi, pejabat, LSM, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi, masyarakat, dan sebagainya," katanya.
"Kalau pendidikan, diklat, dan penataran itu sifatnya jangka panjang, maka pengawasan praktik kehidupan bernegara merupakan jangka pendek yang penting, karena itu kalau ada UU investasi yang menyimpang dari Pasal 33 UUD 1945, maka Dewan Nasional itu melapor ke MK, sebaliknya kalau ada Perda yang sama, maka dapat melapor MA," katanya.
Ia menambahkan pembudayaan Pancasila dan UUD 1945 melalui pendidikan dan pengawasan praktik kehidupan bernegara itu merupakan kebutuhan mendesak untuk menyiapkan bangsa dan negara Indonesia mampu menghadapi perubahan lokal, regional, nasional, dan internasional.
"Kalau kita tidak memiliki kesiapan mental melalui penyadaran jatidiri sebagai bangsa Indonesia yang memiliki Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI, maka kita bisa bernasib seperti Uni Soviet yang tidak dihancurkan lewat perang dengan peluru, tapi proses pembaratan di segala sektor kehidupan," katanya.