Selasa 07 Jun 2011 21:23 WIB

Delapan Dekan FH : Legal, Divestasi Newmont Oleh Pemerintah Pusat

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengundang delapan dekan fakultas hukum dari universitas di Indonesia untuk mendiskusikan permasalahan terkait pembelian divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara.

"Kami ingin mendapatkan masukan, profesional input bagaimana pandangan daripada universitas-universitas terkemuka khususnya di bidang hukum terkait dengan hal ini," ujar Menkeu dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.

Dekan yang hadir untuk memberikan pendapatnya adalah Dekan Universitas Gajah Mada Prof Dr Marsudi Triatmodjo, Dekan Universitas Padjajaran Dr Ida Nurlinda, Dekan Universitas Sumatera Utara Prof Dr Runtung, Dekan Universitas Andalas Prof Dr Yuliandri.

Kemudian, Dekan Universitas Sriwijaya Prof Amzulian Rifai, Dekan Universitas Parahyangan Dr Sentosa Sembiring, Pembantu Dekan II Universitas Diponegoro Untung, dan Wakil Dekan Bidang Akademik Universitas Trisakti Dhany Rahmawan.

Dekan Universitas Sumatera Utara Prof Dr Runtung menjelaskan tidak ada ketentuan peraturan perundangan yang dilanggar oleh pemerintah dalam proses divestasi tujuh persen Newmont karena secara yuridis formal sangat kuat.

"Kami sudah mempelajari data Kemenkeu dan menghubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, kami sangat meyakini bahwa dasar pemerintah membeli newmont tujuh persen itu dari aspek yuridis formal itu sangat kuat sekali," ujarnya.

Ia juga berpendapat, Kementerian Keuangan juga tidak diharuskan untuk meminta persetujuan DPR karena yang dilakukan pemerintah terkait divestasi Newmont adalah investasi bukan hal menyelamatkan keuangan negara.

"Kalau ada pandangan diperlukan persetujuan DPR, itu salah penerapan UU yang mana yang harus diterapkan dalam menerapkan pembelian saham ini. Dalam UU Keuangan Negara memang ada kewenangan menkeu atau pemerintah meminta persetujuan DPR untuk ketentuan tertentu dalam hal menyelamatkan keuangan negara, tapi kalau investasi tidak diperlukan persetujuan DPR," ujar Runtung.

Menurut dia, banyak manfaat yang diperoleh dengan keikutsertaan pemerintah dalam manajemen Newmont seperti memberikan pengawasan terhadap lingkungan hidup dan aspek perpajakan.

"Banyak aspek manfaat yang lain yaitu keikutsertaan pemerintah sebagai pemegang saham Newmont bisa pengawasan dalam berbagai hal, salah satunya dari bidang lingkungan. Dan juga dari aspek perpajakan mungkin ini bisa juga dikontrol dalam operasional Newmont," ujarnya.

Dekan Universitas Gajah Mada Prof Dr Marsudi Triatmodjo menambahkan bahwa pemerintah dengan kepemilikan saham Newmont dapat memiliki kendali terhadap kegiatan operasional perusahaan tambang tersebut.

Marsudi melihat selama ini persoalan yang dialami oleh perusahaan yang bergerak di industri ekstratif adalah adanya permasalahan lingkungan hidup.

"Pemerintah memiliki kesempatan untuk mengajak atau meminta perusahaan untuk memiliki kepatuhan terhadap peraturan, ketentuan terkait dengan kepedulian lingkungan, kami melihat kesempatan dan peluang baik agar perusahaan ini bisa taat memenuhi kewajibannya terhadap persoalan lingkungan," katanya.

Sementara, Dekan Universitas Padjajaran Dr Ida Nurlinda, menjelaskan langkah pemerintah dengan pengambilalihan saham tersebut dapat memberikan efek domino kepada lembaga-lembaga pemerintah lainnya untuk lebih memberikan perhatian kepada kepentingan bangsa dan kepentingan nasional.

"Dengan masuknya pemerintah, dalam ini Kemenkeu, membeli saham melalui PIP menunjukkan kedaulatan rakyat itu sendiri terhadap sumber daya alam, dalam hal ini tambang. Saya berharap bisa jadi efek domino untuk lembaga-lembaga lain untuk serius menanggapi permasalahan negara ini," ujar Ida.

Sedangkan, Dirjen Kekayaan Negara Hadiyanto mengatakan landasan hukum yang digunakan pemerintah sudah sangat jelas yaitu UU Keuangan Negara dan pasal 7 serta pasal 21 UU Perbendaharaan Negara.

Ia bahkan berpendapat argumen serta pasal yang digunakan oleh DPR untuk mempertanyakan legalitas proses divestasi tersebut, keliru.

Menurut dia, pasal 45 dan pasal 46 UU Perbendaharaan Negara yang menjelaskan pemindahtanganan barang milik negara harus melalui persetujuan DPR kurang tepat, karena pemerintah melakukan investasi bukan pemindahan aset.

"Untuk fixed asset atau harta tetap, untuk tanah dan bangunan bahkan satu meter pun musti menggunakan persetujuan DPR. Tapi ini investasi dan referensi pasal 45-46 tidak tepat untuk ini karena menyangkut barang milik negara," ujarnya.

Hadiyanto juga menjelaskan referensi DPR pasal 24 ayat 7 UU Keuangan Negara yang berkaitan dengan penyertaan modal negara pada perusahaan swasta juga kurang tepat karena ini bukan penyertaan modal negara.

"Ini investasi untuk penggunaan dana yang ada pada PIP yang sebetulnya sudah disetujui DPR. PIP melakukan investasi dimana itu 'judgement' PIP mana yang keuntungan untuk negara paling besar, itu ranah pemerintah. Bicara DPR ini hanya politik budgeting, penganggaran saja. Eksekusi di pemerintah," ujarnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement