Selasa 07 Jun 2011 19:09 WIB

Kurtubi Persoalkan Ketidakjelasan Dana DMO Kontraktor Minyak Asing

Rep: C19/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,AKARTA--Aliran dana Domestic Market Obligation (DMO) dari kontraktor minyak asing yang masuk ke pemerintah semakin tidak jelas arah dan peruntukannya. Padahal dana ini bisa dimanfaatkan untuk membantu biaya produksi BBM Pertamina.

"Sehingga masyarakat bisa mendapatkan BBM dengan harga yang lebih murah dari sekarang," ungkap Direktur Center for Petroleum an Energy Economics Studies, Dr Kurtubi, di Jakarta, Selasa (7/6).

Menurutnya, dana DMO ini sebenarnya sangat bermanfaat untuk membantu beban biaya produksi BBM atau mengurangi beban subsidi pemerintah atas BBM. Namun sejauh mana pemanfaatannya disbeut Kurtubi tidak jelas.

Ia menambahkan, DMO ini sebenarnya merupakan 'hak' rakyat. Setiap kontraktor minyak asing yang beroperasi di Indonesia wajib menyerahkan sebagian produksinya (minyak mentah) kepada Pertamina.

Sesuai peruntukannya DMO yang diberlakukan pada era Ibnu Soetowo ini seharusnya untuk diolah menjadi BBM. Pada awal diberlakukannya harga DMO ini hanya 10 persen dari harga ekspor minyak.

"Kalau tidak salah harganya saat itu masih berkisar 20 sen Dollar AS per barel. Karena harga minyak dunia masih berada pada kisaran 23 Dollar AS per barel," jelas Kurtubi saat berbicara pada diskusi 'Premium Dibatasi Bukti Kejamnya Pemerintah' yang digelar Forum Umat Islam (FUI).

Hingga saat ini harga DMO ini sudah mencapai 20 persen dari harga ekspor minyak. Jika sekarang harga minyak dunia mencapai 100 Dollar AS per barel, maka harga DMO ini sudah mencapai 20 Dollar AS per barel.

Sebagai gambaran, 80 persen produksi minyak nasional saat ini disumbang oleh kontraktor asing. Sisanya merupakan produksi perusahaan nasional.

Namun ke mana dana DMO ini semakin tidak jelas aliran dan peruntukannya. Ia melihat pemerintah 'sengaja' membuat abu- abu manfaat dana ini. "Harusnya pemerintah transparan ke mana saja dana ini dan untuk pos pengeluaran apa saja," imbuhnya.

Mestinya, lanjut Kurtubi, dana ini dikembalikan ke khitoh-nya agar BBM untuk rakyat bisa murah. "Jangan seperti sekarang, ketika beban subsidi sudah memberatkan muncul ide pembatasan premium," tegasnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif ECONIT, Dr Hendri Saparini menegaskan ada beberapa alasan mengapa kebijakan pembatasan premium tidak dapat diterima. Yang pertama langkah pemerintah ini bertentangan dengan konstitusi.

Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mencabut pasal 23 ayat 8 UU Migas tentang penetapan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun sekarang rakyat dipaksa untuk membeli pertamax dengan harga pasar.

Berikutnya, alasan pembatasan BBM bersubsidi (premium) karena hanya dinikmati masyarakat yang berduit masih prematur. Pasalnya premium masih banyak dinikmati masyarakat kelas bawah. "Pembatasan BBM bersubsidi ini juga rentan memicu inflasi," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement