REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Direktur Utama PT. Merpati, Sardjono Djoni Tjitrokusumo, mengaku diperiksa terkait proses pengadaan pesawat MA-60. Sardjono mengungkapkan alasan penyidik memanggil dia karena adanya dugaan korupsi dalam proses pengadaan tersebut. "Ada dugaan korupsi. Karena di luar sana terus kemudian pendapat banyak orang. Ya terus kemudian diduga seperti itu ya kita diminta diundang untuk memberikan keterangan," ungkap Sardjono di gedung bundar, Jampidsus, Rabu (25/5).
Djoni pun menjelaskan sejauh mana kewenangan dia dalam proses pengadaan itu. Djoni mengungkapkan bahwa dia baru bergabung ke Merpati setelah proses pengadaan selesai. Namun, tuturnya, ada beberapa data dari pengadaan itu yang diselesaikan ketika ia menjabat sebagai direktur utama. Djoni pun mengaku sempat memberi beberapa dokumen kepada penyidik. Yakni hasil beberapa kali rapat dan bukti kewenangan manajemen.
Menurutnya, ketika manajemen dilantik pada 27 Mei 2010, izin pengadaan dan kontrak pembelian pesawat sudah ada. Begitu pula proses pembiayaan dan tipe sertifikasinya. "Jadi ya kita tinggal melihat kelaikan pesawatnya, lalu kita jalankan. Kita operasikan," katanya menegaskan.
Selain itu, Djoni mengaku ditanya soal adanya informasi penolakan Wakil Presiden ketika itu, Jusuf Kalla terkait pengadaan MA-60. Menurutnya, ia tidak memiliki satu pun dokumen yang menyebutkan adanya penolakan tersebut. "Kita jawab tidak ada. Dari dokumen yang kita punya tidak ada,"ujarnya.
Penyidik pun menanyakan dugaan mark-up dalam pengadaan tersebut. Menurut Djoni, harga pesawat tersebut wajar. "Kan to the best of our knowledge," ungkapnya. Jika terdapat mark up dalam pengadaan tersebut, Djoni mengaku tidak akan membeli pesawat buatan Cina itu.
Ia pun mengungkapkan tidak ada intervensi dalam pengadaan tersebut. Termasuk dari Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu atau pun Menteri Perhubungan ketika itu, Hatta Radjasa. Begitu pula dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara waktu itu, Sofyan Djalil. Djoni pun bersedia pasang badan karena menurutnya, dia adalah orang yang bertanggung jawab. "Nggak ada yang maksa kok. Jadi kalau ada yang tanggung jawab, ya saya. Nggak ada yang maksa," katanya menjelaskan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Andi Nirwanto, mengungkapkan penyelidikan belum mengarah kepada menteri-menteri yang diduga terkait pengadaan pesawat MA-60. "Saya belum sampai kesana ya," ujarnya. Menurutnya, penyidik masih akan mengumpulkan keterangan dan bukti-bukti terkait pengadaan itu.
Pengadaan MA 60 menjadi kontroversi setelah kecelakaan yang terjadi pada Sabtu (7/5) lalu. Komisi V mempertanyakan tentang proses pengadaan pesawat tersebut. Terlebih, MA-60 tidak memiliki sertifikat Federation Aviation Administration. Kemudian, muncul tudingan bahwa Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu ikut berperan memuluskan pembelian pesawat dari Cina itu. Bahkan suami Mari, Adi Harsono, juga dituduh ikut berperan sebagai calo pembelian pesawat MA-60. Terkait hal itu, Mari membantah semua tudingan itu.
Merpati sebenarnya sempat menemukan adanya retakan (crack) pada sayap tegak belakang (rudder) dua pesawat MA-60 di Surabaya pada Juni 2009 lalu. Insiden keretakan yang menimbulkan kesangsian akan kualitas MA-60 inilah yang sempat membuat Merpati menolak melanjutkan pembelian 15 pesawat yang kontraknya ditandatangani pada 2006. Xian sempat mengancam menyeret Merpati ke arbitrase internasional bila membatalkan pembelian 15 pesawat.
MA-60 juga menjadi isu kontroversi karena proses pembeliannya diduga merupakan bentuk offset (imbal balik) untuk Cina yang ikut mendanai dan mengerjakan proyek pembangkit listrik 10 ribu Megawatt. MA-60 juga hanya mengantongi sertifikasi dari Civil Aviation Administration of China dan tentu saja dari otoritas penerbangan Indonesia.