REPUBLIKA.CO.ID,JEMBER--Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Asvi Warman Adam menyatakan bahwa negara harus tegas untuk menuntaskan persoalan Negara Islam Indonesia (NII) di Indonesia. "Saya menilai intelijen negara terkesan membina dan membiarkan berkembangnya NII di Indonesia, sehingga hal itu tidak boleh lagi terjadi di NKRI ini," katanya setelah menjadi pembicara Seminar Nasional Pekan Chairil Anwar di Gedung Soetardjo Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu.
Menurut dia, negara memiliki peranan penting untuk menuntaskan masalah NII, bahkan kabar yang berkembang menyebutkan jumlah anggota NII di Indonesia mencapai 150 ribu orang. "Mereka yang menjadi anggota NII harus diusut, termasuk dalang dan dugaan keterlibatan intelijen dalam NII juga harus dicari dan diperiksa hingga tuntas," ucap sejarawan sosial dan politik itu.
Lembaga pondok pesantren, lanjut dia, harus murni untuk kepentingan pendidikan, bukan mesin politik pengumpul suara pada saat pemilihan umum atau kepentingan politik lainnya. "Pada tahun 1974 terjadi gerakan makar Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dibina oleh Ali Murtopo yang dikenal dengan Kasus Malari, sehingga hal itu jangan sampai terulang lagi," katanya menjelaskan.
Asvi mengemukakan, DI/TII dan NII memiliki hubungan genologis karena sebagian anak anggota DI/TII menjadi penggerak NII. "Pemerintah harus menyelidiki apakah ada keterkaitan idiologi DI/TII dengan NII, termasuk apakah ada upaya NII untuk melakukan gerakan makar. Itu harus diusut tuntas," katanya.
Ia menilai tindakan NII yang melakukan penipuan terhadap ribuan orang dengan praktik cuci otak adalah bentuk kriminalisasi massal yang harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum. "Seharusnya pemerintah juga menyelidiki keterkaitan Ponpes Al Zaytun dengan NII dengan cara intelijen dan secara teliti, karena kedatangan Menteri Agama Suryadharma Ali secara resmi tidak akan mendapatkan bukti apa-apa, sebab mereka lebih pintar dan laten," ujarnya.