REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Partai Golkar meminta agar pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran tersendiri dan tidak masuk dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan. "Golkar mempertanyakan kenapa pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan Indonesia. Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan," kata Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/5).
Bagi Partai Golkar, katanya, ajaran tentang Pancasila tidak boleh hanya menjadi bagian kecil dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Oleh karena itu, Aburizal sudah menginstruksikan kepada Fraksi Partai Golkar (FPG) di DPR untuk menyikapi masalah ini secara serius. "Sikap Partai Golkar jelas, yakni kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan Indonesia secara khusus, karena materi pendidikan Pancasila harus diajarkan secara tersendiri," katanya.
Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi adalah sebuah upaya untuk memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri, karena Pancasila adalah pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan dan toleransi beragama. Gotong-royong yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan bukanlah sebuah ungkapan klise.
"Gotong royong adalah sebuah nilai dasar, kristalisasi pengalaman satu generasi ke generasi lainnya dari himpunan manusia yang kita sebut manusia dan masyarakat Indonesia," ujarnya.
Aburizal Bakrie mengatakan, di saat-saat belakangan ini, dengan terjadinya berbagai kericuhan, konflik, dan perselisihan yang kadang memakan korban yang menyedihkan, bangsa Indonesia semakin diingatkan untuk kembali merenungkan jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa. Oleh karena itu, bagi Partai Golkar, Pancasila adalah ideologi yang dapat mempersatukan masyarakat sebagai suatu bangsa.
"Pancasila sebagai ideologi memang harus diterjemahkan ke dalam bahasa perilaku, oleh karenanya diperlukan kesadaran awal yaitu menyadari nilai-nilai luhur kemanusian yang sama," ujarnya.
Aburizal Bakrie juga mengutip pernyataan Bung Karno bahwa gotong-royong dan semangat kekeluargaan adalah saripati dari nilai-nilai keindonesiaan, sebuah esensi dari kultur ketimuran yang menjadi pondasi dari kehidupan bersama serta yang menjadi dasar nasionalisme Indonesia. "Nilai inilah yang menjadi penopang kebhinnekaan kita, tempat kita bisa mengekspresikan perbedaan, tetapi pada saat yang sama tetap menjaga persatuan bangsa," ujarnya.
Aburizal mengatakan dengan dasar semacam ini, pihaknya meyakini bahwa kehidupan politik, kehidupan kepartaian, dinamika kepemimpinan dan persaingan para elite, gerakan kemasyarakatan dan "civil society" dapat berlangsung dan mencari bentuk serta mengejar kepentingan masing-masing. Meski begitu, semuanya akan secara sadar menjunjung kebersamaan serta menjauhi sikap yang hanya mementingkan atau mau menang sendiri.
"Jika hal ini terjadi, maka sistem politik nasional kita akan semakin kokoh, semakin demokratis, di mana pilar-pilarnya mampu memainkan peran yang konstruktif bagi kehidupan bersama," katanya.