REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengkuatirkan Rencana Peraturan Pemerintah Pengendalian Produk Tembakau akan menurunkan usaha mereka dalam budidaya tanaman perkebunan tersebut.
Sekjen APTI Budidoyo di Jakarta, Kamis (5/5) menyatakan, Rencana Peraturan Pemerintah Pengendalian Produk Tembakau (RPP Tembakau) memang lebih ditujukan pada industri rokok di dalam negeri.
"Petani jelas akan terimbas. Kalau sektor hilir (industri) kena maka di hulu (budidaya) juga akan terkena," katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pihaknya mengharapkan dalam mengeluarkan RPP Tembakau tersebut pemerintah perlu memperhatikan pula nasib petani maupun usaha pertanian tembakau.
Dia mengungkapkan, selama ini petani tembakau lebih mandiri dibandingkan petani di sektor lainnya, Karena selama ini budidaya tanaman ini tidak mendapatkan akses kredit perbankan maupun bantuan subsidi dari pemerintah sebagaimana komoditas pangan.
Semantara itu, lanjutnya, tanaman tembakau ternyata mampu memberikan keuntungan ekonomis yang tinggi bagi petani sehingga menjadi alternatif mata pencaharian terutama di wilayah-wilayah produksi komoditas itu.
"Kalau bisa diganti tentu saja akan diganti. Pada saat musim kering hanya tembakau yang mampu hidup. Ini yang harus diperhatikan pengambil kebijakan," katanya.
Budidoyo mengatakan, saat ini produksi tembakau nasional sekitar 160 ribu hingga 170 ribu ton per tahun dengan lahan pertanaman mencapai 230 ribu hektar melibatkan sekitar 1,8 juta petani.
Beberapa sentra produksi tembakau antara lain di Jawa Timur seperti Jember, Banyuwangi, Bojonegoro, kemudian Jawa Tengah antara lain Temanggung, Magelang, Purwodadi, Klaten , Kendal, Boyolali serta Jawa Barat yakni Garut, Sumedang, Majalengka, Kabupaten Bandung dan Tasikmalaya.
Budidoyo mengungkapkan, selama ini pihak-pihak yang berkepentingan dari kalangan industri belum pernah diajak duduk bersama membahas soal RPP TEMbakau tersebut.
Sementara, terkait draft RPP Tembakau Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Soedaryanto menyatakan, masih ada beberapa pasal yang perlu diperbaiki dan didiskusikan kembali karena akan memberatkan industri sekaligus tidak menjamin kepastian usaha industri.
"Masih ada pasal-pasal yang menurut kami tidak berimbang sekaligus akan mempersulit usaha industri tembakau secara sepihak. Selain sulit diterapkan, pasal-pasal tersebut bisa memicu penolakan khususnya dari masyarakat tembakau nasional," katanya.