REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemikiran radikalisme tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendekatan fisik semata. Radikalisme merupakan pemikiran dan harus dihilangkan melalui pemikiran pula. Di sinilah diperlukan adanya pendidikan karakter sejak dini untuk membentuk pola pikir.
Demikian disampaikan Menteri Pendidikan Indonesia, Mohammad Nuh dalam pertemuannya dengan wartawan, Kamis malam (28/4). "Ibaratnya mau mengukut kecepatan menggunakan kilometer. Itu tidak bisa. Pemikiran harus diselesaikan dengan pemikiran lagi," kata Nuh.
Ada lima tahapan pola pikir yang harus dibangun oleh setiap orang. Yang pertama adalah pola pikir disiplin, yaitu pola pikir yang didasarkan pada satu pola keilmuan. Pola pikir ini, kata Nuh, biasanya berkarakter keras dan 'pokoknya' kuat. Nuh mencontohkan seseorang yang mempunyai pola pikir ekonomi.
Ia memandang segala hal selalu dari sisi ekonomi. "Bahkan mau menikahpun melihatnya dari sisi ekonomi," tambahnya. Karena hanya mengetahui dari satu sisi keilmuan saja, maka energinya hanya dipakai untuk satu hal ini saja. Karena itulah diperlukan pola pikir kedua untuk melengkapi, yaitu pola pikir synthetic mind. Pola pikir ini sudah lebih cair dibandingkan pola pikir pertama sehingga pendekatannya berbeda.
Pola ini sudah mengarah ke sistem pendekatan. Akan tetapi, seringkali sistem ini tidak dapat menjawab persoalan karena relatif baru. Perlu dikembangkan lagi melalui pola pikir ketiga, yaitu pola pikir kreatif. Dengan pola pikir ini orang bebas berkreasi. Akan tetapi risiko yang dihadapi semakin besar karena dari kreativitas setiap orang akan memunculkan berbagai macam hal dan masalah.
"Yang namanya kreatif pasti tidak sama. Dan ini berpotensi untuk berbenturan. Di sinilah kita memerlukan pola pikir keempat, yaitu toleransi," tuturnya.
Toleransi sangat diperlukan karena sudah adanya pola pikir kreatif tadi. Karena kreativitas tersebut menimbulkan keanekaragaman, otomatis seseorang harus menghargai perbedaan itu. Perbedaan itu tidak bisa dihilangkan, tegas Nuh. Yang perlu dikembangkan adalah toleransi terhadap pluralisme. “Namun hanya membarkan perbedaan itu saja tidak cukup, harus ada batasannya," tuturnya.
Ada orang-orang yang tahan terhadap perbedaan, namun ada pula yang tidak. Karena yang berbeda itu terus memprovokasi, maka orang lain pun merasa tidak nyaman. Falsafah Indonesia memang menghargai perbedaan, imbuh Nuh, namun perbedaan itu pun ada batasnya. "Kalau kalian saya provokasi terus pasti jebol," katanya menegaskan.
Karena itulah diperlukan pola pikir kelima, yaitu etika. Bila kelima pola pikir itu disatukan, maka akan muncul etika berbangsa dan bernegara. Inilah wadah yang selama ini menampung rakyat Indonesia. Dan salah satu pilar Indonesia adalah bhineka tunggal ika. Perbedaan di Indonesia sudah ada sejak dulu. Maka tidak boleh ada yang memaksakan diri kepada orang lain karena hal tersebut menyalahi kodrat perbedaan itu sendiri. "Yang heterogen diminta menjadi homogen pasti nanti akan renggang," ujarnya.
Untuk itulah pemerintah akan mencanangkan pendidikan karakter sejak dini kepada anak-anak bangsa. Hal ini bertujuan untuk membentuk kelima pola pikir tadi serta membentuk karakter cinta bangsa dan perbedaan. Pembentukan karakter cinta tanah air ini dapat dibentuk dari hal-hal kecil seperti mengenalkan anak pada identitas bangsa. "Baru setelah dewasa, kita ajarkan mereka ideologi," katanya menandaskan.