REPUBLIKA.CO.ID,BENGKULU--Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Wina Armada Sukardi mengingatkan para wartawan, perusahaan pers dan organisasi pers tidak "mengemis" atau minta-minta kepada kepala daerah untuk menjaga independesi dan kaedah profesi jurnalistik. "Kalau masih ada wartawan meminta-minta kepada kepala daerah dapat dikategorikan sebagai orang miskin atau cacat yang dipelihara pemerintah," kata Wina Armada di Bengkulu.
Dalam Forum Diskusi Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar 1945 yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) RI dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Bengkulu, ia menandaskan pers harus tetap menjaga independensi dan mengedepankan pemberitaan berimbang.
Selama ini ada kesan pers sudah dijadikan alat bagi pejabat dan pengusaha untuk kepentingan tertentu, dengan demikian independen pers sudah hancur di mata masyarakat. Akhirnya pemerintah daerah seenaknya menjadikan pers anjing gonggongan untuk mencapai tujuan tertentu, dampaknya masyarakat tidak percaya pemberitaan media.
Untuk memulihkan panafsiran tidak sehat terhadap pers ke depan, maka disarankan tidak meminta-minta kepada pemerintah daerah baik itu dalam bentuk komersil maupun persengkokolan. Ia menguraikan secara singkat sejarah pers masa lalu, bahwa tugas wartawan itu cukup besar dalam membela negara, terutama saat pertama kemederkaan RI dicanangkan presiden Soekarno tahun 1945.
Saat itu, pihak Belanda belum mengkaui bahwa Indonesia sudah merdeka, namun berkat gencarnya pemberitaan pers mencanangkan kemerdekaan Indonesia ke berbagai penjuru dunia, maka Belanda pun akhirnya mengakui revolusi tersebut. Perjuangan pers terdahulu itu, hendaknya dipertahan oleh generasi wartawan sekarang ini terutama dalam independensi dan memberi pendidikan kepada masyarakat pemberitaan.
Tiga isu sentral
Sementara anggota DPD-RI H Bambang Suroso dalam acara tersebut mengatakan, komunitas pers adalah satu satu mitra dalam mendukung program perubahan kelima UUD 1945 sebagai solusi pesoalan bangsa dan kebutuhan bangsa ke depan. Hingga saat ini ada tiga isu sentral dalam perubahan tersebut yaitu memperkuat sistem presidensil, lembaga perwakilan dan memperkuat otonomi Daerah.
Ia menjelaskan, dalam memperkuat sistem presidensil, presiden tidak memiliki kewenangan legislasi (membahas dan menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU), tetapi hanya dapat mengajukan RUU tersebut. Sebagai imbalannya, Presiden dapat memveto setiap RUU yang disetujui DPR dan DPD serta vito tersebut dapat dibatalkan bila disetujui 2/3 anggota DPR dan 2/3 anggota DPD.
Dalam memperkuat lembaga perwakilan, katanya, kekuasaan legisltif berada di tangan DPR dan DPD yang kedudukannya relatif sejajar, kekuasaan legistatif meliputi kewenangan membentuk UU, pengawasan, anggaran, pengisian jabata publik dan representasi. Semua rencan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama DPR dan DPD termasuk rencana undang-undang APBN, baik DPR maupun DPD berwenang mengusulkan perubahan UUD 1945, katanya.