REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian seorang nasabah Citibak yang diduga tewas dianiaya debt collector membuat sejumlah anggota Komisi XI DPR RI menuntut permohonan maaf dari pucuk pimpinan Citibank, Shariq Mukhtar. Anggota lainnya bahkan dituntut untuk memasang pernyataan permohonan maafnya di media massa yang ditujukan kepada rakyat Indonesia.
Politisi dari Fraksi Golkar, Nusron Wahid berulang kali mengutuk keras Shariq selaku Citibank Country Officer di Indonesia untuk meminta maaf secara tulus. "Bahkan kalau perlu, rapat kerja ini menyimpulkan untuk memberikan sanksi pelarangan menerbitkan kartu kredit selama satu tahun, tiga tahun lebih baik," lontar Arif Budimanta, politisi PDIP.
Setelah didesak berulang kali, Shariq akhirnya, dalam bahasa Inggris, meminta maaf kepada karena telah merepotkan banyak pihak, terutama keluarga Irzen Okta yang telah kehilangan almarhum. Namun permintaan maaf ini dinilai tidak tulus oleh anggota komisi karena menyatakannya dalam situasi tertekan.
Di awal rapat, Shariq cukup lancar menjawab pertanyaan para anggota Komisi XI, terutama bagaimana pola hubungan kerja antara Citibank dengan perusahaan jasa debt collector.
Namun jawaban Shariq maupun penerjemahnya, semakin tidak jelas saat dicecar mengenai jawaban Shariq yang tidak konsisten. "Tadi Anda mengatakan pihak Citibank merekam seluruh komunikasi yang berlangsung antara debt collector dengan tertagih," tanya Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar.
Namun, Harry melanjutkan dengan nada tinggi, "Tapi mengapa tidak ada kamera CCTV dalam ruangan tempat Okta dibawa, dan hanya berada di luar ruangan. Apakah ini standar operasional tertinggi yang tadi Anda katakan?"
Shariq sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya telah menetapkan standar operasional (SOP) tertinggi untuk melindungi nasabahnya. Tetapi, dugaan tewasnya nasabah mereka ditangan pihak ketiga yang disewa Citibank, menjadi pertanyaan anggota dewan tentang SOP tertinggi yang Shariq maksudkan.