REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof Sri Edi Swasono menyatakan, pembangunan di tanah air masih cenderung menggusur orang miskin, dan bukannya menggusur kemiskinan. "Akibatnya pembangunan menjadi proses dehumanisasi," kata Sri Edi dalam diskusi bertajuk "Cara Melenyapkan Nafas Kapitalisme dan Neoliberalisme" yang digelar Forum Renovasi Indonesia (FRI) di Jakarta, Rabu.
Sri Edi Swasono mengatakan rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai sentral substansial saat ini justru menempati posisi marginal residual. Hal itu, menurut Sri Edi, disebabkan praktik ekonomi liberal kapitalistik yang menempatkan modal dan pemilik modal di posisi sentral substansial.
Seharusnya, kata dia, Indonesia kembali pada sistem ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, dan bukan justru mengingkarinya. Ia lantas bercerita tentang tesis kandidat doktor yang menyebutkan ada 20 undang undang yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Kandidat tersebut dinyatakan lulus oleh sembilan profesor.
Lebih lanjut Sri Edi mengatakan, kemajuan ekonomi rakyat haruslah seiring atau inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya. "Tidak seharusnya terjadi eksklusivisme pembangunan. Tidak terjadi pula marjinalisasi, alienasi atau penyingkiran terhadap rakyat miskin dan lemah," katanya.
Ia mencontohkan, dalam setiap pembangunan pusat perbelanjaan dan "hipermarket", maka pedagang kaki lima, usaha informal, pasar rakyat, dan pasar tradisional harus dibawa, terangkat masuk ke dalam pasar modern tersebut. "Kalau tidak, ekonomi rakyat dalam bahaya. Kita telah menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan," katanya.
Sementara itu Ketua FRI Bagus Satriyanto berpendapat, untuk melenyapkan nafas kapitalisme dan neoliberalisme di Indonesia, maka UUD 1945 perlu dikaji ulang. "Namun, proses kaji ulang tersebut harus disertai kesungguhan dan kerja nyata di lapangan," katanya.
FRI, kata Bagus, percaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah sosok yang antikapitalisme. Demikian pula Wapres Boediono yang merupakan guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM). "Civitas akademika UGM sangat memahami Pancasila sebagaimana pemahaman almarhum Profesor Mubyarto," katanya.