REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, mengakui bahwa jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia masih tinggi.
"Kasus KDRT di Indonesia masih tinggi dan perlu peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk memberikan kontribusi nyata dalam menghapus KDRT," kata Linda seusai membuka seminar Hari Perempuan Internasional di Ancol, Jakarta, Selasa (8/3). Menteri membuka seminar tersebut sekaligus meluncurkan buku bertajuk "Bagaimana Mencegah Tindak KDRT" yang diluncurkan oleh konsultan gender Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Linda menjelaskan bahwa penghapusan KDRT memerlukan perhatian khusus dari semua kalangan. "Kekerasan yang dimaksud bukan hanya kekerasan secara fisik, tetapi juga kesengsaraan yang timbul secara psikologis, seksual, ekonomi dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga," katanya.
KDRT, menurut Linda, bertentangan dengan HAM dan prinsip keharmonisan dalam rumah tangga yang mengusung kesetaraan gender. "KDRT telah menimbulkan banyak kerugian dalam keluarga dan menunjukkan kegagalan dalam melindungi kaum perempuan atau anak perempuan sebagai korban terbanyak di mana pelakunya adalah suami atau laki-laki di dalam rumah tangga mereka sendiri," katanya.
Meskipun di Indonesia penghapusan KDRT telah dikukuhkan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004, namun masih banyak kasus KDRT yang bergulir sebagaimana kasus fenomena yang terselubung. Linda menjelaskan upaya pemerintah dalam menghapus tindak KDRT bukanlah hal yang mudah. Karena, pemerintah berhadapan dengan akar budaya tradisional patriarki yang membawa dampak kepada marginalisasi, diskriminasi dan sub-ordinasi kaum perempuan dan anak-anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.