REPUBLIKA.CO.ID-Manusia lanjut usia (lansia) terlantar di negeri ini sudah menjadi hal biasa. Namun, yang mengejutkan, ditemukannya seorang nenek renta, lumpuh, dan buta, bernama Karsiyan (72 tahun), yang sudah 10 tahun berumahkan bedeng bekas kandang ayam yang kumuh di Dusun Kebondalem, Wonosalam, Demak, Jawa Tengah.
Karsiyan ditolak masuk panti jompo karena dipandang tidak bisa mengurus diri sendiri. Sebuah alasan mengada-ada. Siapa yang bertanggung atas kasus-kasus seperti ini dan masalah lansia pada umumnya? Berikut wawancara dengan Direktur Jenderal (Dirjen) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial (Kemensos), Makmur Sunusi:
Seorang lanjut usia (lansia) di Demak, Jawa Tengah, harus tinggal di bekas kandang ternak karena ditolak panti jompo. Sebenarnya, seperti apa kebijakan pemerintah soal lansia ini?
Kita berharap yang begitu-begitu itu diambil alih pemda, karena kita (pemerintah pusat) mengotonomikan pelayanan sosial ke daerah. Yang terjadi di Jawa Tengah itu harus ditanya ke Dinas Sosial setempat. Di sana itu banyak rumah jompo. Saya juga sering mengingatkan para kepala Dinas Sosial dan gubernur untuk masalah sosial ini. Ada juga yang care.
Apakah jumlah panti jompo sudah sebanding dengan banyaknya lansia yang perlu ditampung?
Rumah jompo itu ada dua (kategori): milik pemerintah pusat yang cuma di dua tempat (Makassar dan Bekasi) serta rumah jompo lain milik pemerintah daerah (pemda).
Artinya, jumlahnya sedikit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan?
Sebenanrya tidak bisa mengandalkan panti jompo, itu model kuno. Yang tinggal di rumah jompo itu mereka yang terlantar, sama sekali tidak ada lagi keluarga, tidak ada anak, dan macam macam.
Panti jompo adalah jalan terakhir. Ketika keluarga sebagai jaring pertama sudah tidak mampu, masyarakat dalam konteks lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak mampu, terakhir baru panti jompo.
Bagaimana sikap pemda sendiri dalam menangani masalah sosial terutama lansia?
Kita ingin risiko menerima otonomi daerah itu diikuti tanggung jawablah di anggaran. Kalau utusan pariwisata cepat, perbatasan cepat, perizinan yang menghasilkan duit cepat, tapi begitu harus keluar duit (seperti untuk urusan sosial), nah ini dia (sulit).
Sebenarnya sekarang, Insya Allah metoda dan pengetahuannya (untuk menangani masalah sosial) sudah siap. Ibaratnya senjata sudah ada, orang yang mau nembak sudah ada, tapi pelurunya kurang.
Makanya kita mengatakan anggaran sosial di daerah itu residual welfare. Pariwisata sekian miliar, PU sekian miliar, pasar sekian miliar. Terus ada satu anggota DPR bilang, itu untuk masalah sosial belum dapat lho, sisanya ada tidak? Jadi, sisanya saja. Itulah residual welfare.
Jika diotonomikan ke daerah, apa peran pemerintah pusat?
Kita hanya membuat prototipe standar pelayanan minimum. Jadi, bagaimana desain layanan bisa lebih bagus, efektif, dan efisien.
Sekarang, desain yang ingin kita kenalkan ke pemda-pemda, rumah jompo tetap ada tapi dia mengakses ke home care. Ini kayak di Jepang, tidak banyak lagi yang masuk rumah jompo. Mereka ditahan di rumahnya, tapi didanai. Namanya familly support.
Seperti apa sistem itu kalau diadopsi di Indonesia?
Umpamanya ada rumah jompo di Sleman (Jawa Tengah). Di dalam rumah jompo itu paling ada 100 orang, tapi di luar ada 3.000 yang difasilitasi oleh rumah jompo tersebut. Ada data lengkap tentang mereka. Di-filing-nya tercatat pernah sakit apa, apa yang terjadi, atau sudah dikasih obat apa.
Nah, file itu tidak disimpan di rumah lansia, tapi di rumah jompo. Itu yang ingin disosialisasikan. Kalau membangun rumah jompo lagi mahal. Dananya lebih baik langsung ke mereka.
Umpama membangun rumah jompo itu menghabiskan Rp 5 sampai 10 miliar, kan lebih baik disalurkan untuk membantu yang di dalam keluarga. Itu yang ingin kita sosialisasikan. Kalau dia masih ada rumah sendiri, dapat dikunjungi secara reguler (oleh petugas panti jompo).
Program-program apa saja yang dikembangkan pemerintah soal lansia ini?
Banyak. Salah satunya jaminan sosial lanjut usia, Rp 300.000 per bulan per orang. Itu untuk 12.000 orang jompo saja di tahun 2011. Baru itu yang bisa dicover, karena anggaran kita bisanya juga segitu. Ini masih uji coba. Jaminan sosial kan harus diuji coba, ini tahun kelima.
Empat tahun yang lalu diberikan untuk 2.500 orang, naik jadi 3.500, naik lagi 5.000, lalu naik sampai 10.000, sekarang 12.000 orang. Mereka (lansia) kita ambil secara acak setiap provinsi. Ini harus bertahap karena anggaran susah.
Di anggaran itu juga ada jaminan untuk penyandang cacat, nilainya sama Rp 300.000 per orang per bulan. Untuk penyandang cacat itu ada 17.000 orang yang menerima, jadi sudah hampir 30.000 orang untuk dua itu. Belum subsidi panti asuhan, yang jumlahnya 8.000 lebih di seluruh Indonesia.
Jadi bagaimana beratnya kita, dengan anggaran pas-pasan. Ini hanya gambaran supaya jelas. Begitu anggaran turun, langsung dibagi habis. Subsidi panti asuhan, jaminan sosial lanjut usia, dan jaminan sosial penyandang cacat.
Ada kerja sama dengan pihak lain dalam penangaan masalah sosial ini?
Satu-satunya cara, kita bekerja sama dengan LSM. Ada LSM Pusaka (Pusat Santunan Keluarga). Dia data orang (penyandang masalah sosial) itu dan diserahkan ke kita. Ada yang dikasih modal usaha bagi yang potensial.
Kemarin saya dengan Pak Menteri Sosial ke Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Banten). Di sana ada ibu umur 79 tahun masih teriak-teriak jualan kue lupis. Anak punya, tapi tinggalnya jauh. Dia potensial dan masih ada upaya (untuk mencari nafkah). Lalu kita fasilitasi dengan modal.
Jadi upaya kita sebenarnya lumayan dalam tataran konsep. Tapi kalau masuk pada coverage rate atau jumlah lanjut usia yang terlantar dan tidak terurus, dibanding dengan anggaran yang turun, nah baru ketemu. Jumlah yang terlantar itu 1.700.000 orang. Sedangkan duit kita kalau tidak salah hanya mampu menangani 300.000 orang.
Bagaimana menangani sisanya?
Sekarang, karena ada UU Otonomi Daerah, pemda menjawab dong, jangan jalan-jalan dan wisata saja. Tanggung jawablah. Pemda curang juga, dia mau manis-manis yang tidak manis dibiarin.
Saya sering mengingatkan kepala dinas dan gubernur. Tapi ada dinas yang bagus juga, care, seperti di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Yogyakarta.