REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah terus mencermati aktivitas tiga gunung berapi yakni Gunung Tambora, Anak Krakatau, dan Pusuk Buhit di Toba untuk mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi mengingat ketiga gunung itu masih berstatus aktif.
"Pemantauan atas Tambora, Krakatau, dan Toba, merupakan bagian dari upaya mitigasi bencana. Kita perlu memiliki data perkembangan aktivitas gunung-gunung api yang ada di Indonesia untuk dilaporkan secara kontinyu kepada pengambil kebijakan dan disosialisaskan kepada masyarakat," kata Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief, dalam siaran pers di Jakarta, Senin.
Menurut Andi Arief, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebagai institusi pemerintah yang berada di bawah Kementerian ESDM telah meningkatkan pemantauan terhadap aktivitas ketiga gunung itu sebagai bentuk kesiapsiagaan pemerintah dalam mendeteksi setiap perkembangan aktivitas gunung api.
"Data-data yang didapatkan di lapangan akan berguna bagi pengembangan sistem peringatan dini serta perancangan pola antisipasi dini terhadap potensi bencana. Kita perlu menyiapkan tata cara mengantisipasi ancaman letusan gunung api sekelas Tambora," katanya.
Gunung Tambora secara administratif terletak di Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Letusan gunung api aktif itu pada tahun 1815 telah membuat heboh dunia karena abu vulkanik yang dimuntahkannya menutupi sinar matahari, sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim dunia.
Dampaknya, benua Eropa tidak mengalami musim panas selama beberapa tahun, sehingga hampir semua negara di kawasan itu mengalami gagal panen. Kelaparan hebat yang ditimbulkan masa gagal panen itu bahkan menyebabkan kekalahan tentara Napoleon Bonaparte dalam berbagai peperangan.
"Jika Tambora meletus pada saat ini, maka dikhawatirkan akan menyebabkan lumpuhnya jalur penerbangan dunia. Abu vulkanik Tambora mengandung silika sehingga apabila mengenai mesin jet pesawat dapat menyebabkan kerusakan mesin," kata Andi Arief.
Sementara itu Anak Krakatau dipantau karena sebagai gunung api muda, muncul di permukaan air laut tahun 1930, memiliki periode letusan yang relatif pendek, antara satu hingga empat tahun.
Sebenarnya, dengan pendeknya periode letusan maka tidak terjadi penumpukan energi yang besar di Anak Krakatau, sehingga kecil kemungkinan terjadinya letusan besar dan juga tsunami.
Kondisi itu berbeda dengan Krakatau yang pernah mengalami letusan besar pada 27 Agustus 1883. Bunyi letusan Krakatau pada saat itu terdengar hingga Australia dan India. Letusan Krakatau pada saat itu menyebabkan tsunami setinggi 30 meter dan menewaskan sekitar 36.000 jiwa.
"Meskipun demikian, karena aktivitasnya yang tinggi, Anak Krakatau dipantau dari dua pos pengamatan yaitu di Kalianda, Provinsi Lampung dan di Pasauran, Provinsi Banten. Sistem pemantauan dilakukan dengan memasang peralatan pencatat gempa dan tilt meter di Pulau Anak Krakatau, sedangkan data ditransfer ke dua pos pengamatan dan ke kantor PVMBG Bandung melalui VSAT," kata Andi.
Gunung api ketiga yang mendapatkan pengamatan adalah Pusuk Buhit. Gunung ini merupakan sisa Gunung Toba yang pernah meletus sekitar 70.000 tahun yang lalu. Abu vulkanik Toba diduga menyebar hingga ke Kutub Utara.
Pusuk Buhit yang digolongkan sebagai gunung aktif tipe C tidak meninggalkan catatan letusan sejak tahun 1400. Aktivitas Pusuk Buhit saat ini lebih banyak mengeluarkan air panas. Karena itu, gunung ini hanya dipantau secara episodik saja.