REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sebagai seorang tokoh sejarah, Sjafruddin Prawiranegara sudah selayaknya menyabet gelar pahlawan nasional. Namun, fakta sejarah terkini, seolah menafikkan hal tersebut.
Namun bagi sebagian orang, terutama yang memahami peran dan posisi Prawiranegara kala itu, gelar pahlawan hanyalah persoalan waktu semata. Hal itulah yang disampaikan Ketua Panitia Peringatakan Satu Abad Sjafruddin Prawinegara, AM Fatwa dalam perbincangannya dengan Republika, Sabtu (26/2).
Sjafruddin Prawiranegara (1989-1989) merupakan Menteri Kemakmuran pada 1947, kemudian terjadi Agresi Militer Belanda II. Sjafruddin ditugaskan oleh Presiden Soekarno dan Wapres M Hatta membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Perintah itu diberikan karena Soekarno-Hatta ditangkap dan diasingkan Belanda. Syafruddin menjadi Ketua
Pemerintah Darurat RI pada 1948. Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta.
Menurutnya, apa yang terjad kala itu, dengan jatuhnya pemerintah pusat dan dibentuknya PDRI harus dilihat dalam konteks seorang warga membela negaranya. Bahkan, lanjut Fatwa, pada 2006 lalu pemerintah juga sudah mengeluarkan Keppres No.449/1961 yang menetapkan pemberian amnesti dan abolisi kepada Prawiranegara.
"Peristiwa waktu itu dikukuhkan oleh presiden, peristiwa sudah diakui, tapi aktor dari persitiwa itu tidak diakui," ujar Fatwa.
Ia menjelaskan, terhambatnya proses penyematan gelar pahlawan mungkin dikarenakan belum pernah sampai ke tangan presiden. Padahal upaya tersebut sudah lama diusulkan masyarakat sejarah Jawa Barat. "Mungkin karena ada permasalahan PRRI, tetai ujungnya PRRI dan Permesta secara politik sudah diselesaikan," tandas Fatwa.