REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketentuan UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban (UU PSK) serta hukum dianggap masih mengindikasikan sejumlah kelemahan dan problematika. Kelemahan tersebut terkait pemberian perlindungan terhadap pelapor atau whistle blower.
Selain itu, dalam UU tersebut juga dipandang masih ada keterbatasan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dalam pelaksanaan tugas dan wewenang pemberian perlindungan saksi dan korban serta diaturnya kerjasama antar lembaga terkait. Karena itulah pada Rabu (16/2) ini LPSK melakukan pertemuan dengan satgas pemberantasan mafia hukum.
Pertemuan tersebut, salah satunya, bertujuan untuk mengkonsolidasikan konsep dan rumusan revisi UU PSK. Hal ini dikemukakan dalam siaran pers yang dibagikan di kantor satgas, Rabu (16/2). Kebutuhan adanya perubahan UU PSK tersebut berbanding lurus dengan pentingnya perlindungan saksi dan korban dalam rangka penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap HAM.
Dukungan untuk melakukan perubahan UU ini, juga berasal dari lembaga terkait yang berwenang, serta dari komisi III DPR. "LPSK menyambut positif semua dukungan tersebut dengan melakukan proses yang intensif untuk membahas dan menggodok konsep perubahan UU dengan melibatkan sebanyak-banyaknya pemangku kepentingan," ungkap ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.
Abdul juga menambahkan, keterlibatan berbagai pihak yang selama ini peduli pada isu perlindungan saksi dan korban menambah referensi dan menjaring aspirasi pentingnya dilakukan revisi terhadap UU PSK.