REPUBLIKA.CO.ID, MADIUN - Keadaan Warga Negara Indonesia (WNI) yang masih bertahan di Mesir, termasuk mahasiswa, kini mulai semakin tidak aman, menyusul konflik politik yang terjadi di negara setempat.
"Saat ini, Kairo dan sejumlah kota besar di Mesir semakin tidak aman. Sering terjadi 'sweeping'," ujar salah satu mahasiswa Universitas Al Azhar asal Kota Madiun, Jawa Timur, Ahda Sabila (25), melalui pesan yang dikirim lewat Facebook di Madiun, Sabtu.
Bahkan, penodongan terhadap warga asing juga sering terjadi. "Teman saya yang rumahnya berjarak 7 kilometer dari kawasan Nasr City, tepatnya daerah Tajamuk, harus mengalami lima kali pemeriksaan di jalan," katanya.
Ahda menceritakan, beberapa temannya pernah menjadi korban penodongan dan perampasan. Ada yang dirampas kameranya, dan bahkan ada yang ditodong dengan senjata tajam sambil ditanyai pro-Mubarak atau sebaliknya.
"Kamu pendukung Mubarak atau bukan? Jika tidak tahu apa-apa lebih baik kamu cepat-cepat keluar dari Mesir," kata Ahda menirukan cerita temannya, seperti yang tertulis dalam pesannya di situs jejaring sosial, Facebook.
Ia juga mengingatkan kepada warga asing terlebih WNI yang berada di Mesir untuk selalu membawa visa jika keluar rumah. "Akhir-akhir ini yang tidak mempunyai visa harap hati-hati dan disarankan untuk tidak keluar rumah daripada nanti diciduk oleh polisi, preman, atapun intel setempat," terang Ahda.
Saat ini, para WNI dan warga asing lainnya yang masih bertahan di Mesir, tidak hanya khawatir dengan para demonstran. Mereka juga harus mewaspadai para perampok yang melihat kesempatan akibat banyaknya rumah kosong karena ditinggal oleh pemiliknya berdemo.
"Kami menilai, keadaan di sini (Mesir) sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Keadaan kami semakin akut di sini," tutur mahasiswa S-1 Ilmu Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar itu.
Selain masalah keamanan, para WNI di Mesir masih dihadapkan pada krisis bahan makanan yang semakin menjadi. Stok yang makanan yang menipis dan harga yang semakin melambung telah membuat WNI yang mayoritas para mahasiswa ini semakin parah.
"Harga satu bungkus mi instan di Mesir saat ini sudah mencapai Rp5.000,00 jika dikurskan dengan rupiah. Selain itu, kami juga kehabisan bahan bakar elpiji karena tidak ada yang menjual. Terpaksa kami harus mengungsi ke rumah teman yang stok bahan bakarnya masih bisa dibuat untuk memasak," katanya.
Hal yang sama juga dikhawatirkan oleh Yovi Saddan, mahasiswa Universitas Al Azhar asal Kota Madiun, Jawa Timur, lainnya. Pihaknya berharap agar Pemerintah Indonesia lebih serius lagi dalam menangani evakuasi WNI yang masih bertahan di Mesir.
"Sebagian besar WNI di sini kehabisan uang. Bantuan logistik dari KBRI belum kami terima. Beberapa teman perempuan kami yang belum mendapat giliran evakuasi dan tinggal di asrama pun tidak mendapatkan stok makanan yang biasa disiapkan oleh pegawai asrama," kata dia dalam pesan Facebook.
Menanggapi pernyataan anaknya itu, ibunda Yovi, Sri Sugiarti, di rumahnya di Jalan Maleo, Kelurahan Nambangan Kidul, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Jatim, mengaku cemas dengan nasib anaknya yang saat ini masih bertahan di Mesir.
"Saya cemas dengan nasib anak kami, apalagi infonya di Mesir saat ini banyak narapidana yang dipenjara ternyata bisa melarikan diri. Hal ini pasti rawan terjadi perampokan ataupun perkosaan kepada mahasiswi. Meski anak saya laki-laki, saya tetap mengkhawatirkan hal tersebut," katanya. Ia berharap pemerintah segera menambah pesawat untuk mengevakuasi WNI.