REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menjadi pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan kini terasa berat sekali. Sanksi sosial seperti harus ditanggung oleh semua pegawainya semenjak kasus Gayus HP Tambunan mencuat.
Memang, persepsi miring terhadap pegawai pajak sudah ada jauh sebelum kasus mafia pajak yang dilakukan Gayus itu muncul. Namun, beban psikologis yang mesti dipikul ramai-ramai oleh pegawai pajak sekarang menjadi jauh lebih berat setelah segala tingkah kriminal Gayus disorot publik. ''Malu Mas,'' ungkap Gito Wahyudi, pegawai Ditjen Pajak, mengutarakan isi hatinya kepada Republika.
Gito malu melihat ulah Gayus yang sangat memalukan dan merusak nama lembaga tempatnya bekerja. Dia juga berat mesti menghadapi berbagai pandangan sinis atau sindiran dari masyarakat. ''Enak nih sekantor dengan Gayus,'' katanya menirukan sindiran yang pernah diterima dari tetangga rumahnya.
Rasa malu ini memang begitu membebani ketika berinteraksi dengan masyarakat. Apalagi, pada saat berbincang tiba-tiba lawan bicara menanyakan profesi atau tempat bekerja. ''Rasanya jadi malas menjawab sebagai pegawai Pajak,'' ujar Yadi, pegawai di salah satu Kantor Pelayanan Pajak di wilayah Jakarta.
Rasanya, Yadi melanjutkan, semua mata memandang Ditjen Pajak sebagai sarang koruptor dan seluruh pegawainya adalah bagian dari mafia pajak seperti yang dilakukan Gayus. ''Banyak orang yang langsung bilang, wah pajak, lahan basah nih,'' tuturnya sedih.
Belum lagi, papar Yadi, psikologis suasana kerja di kantor yang ikut terpengaruh. Hubungan kerja antarkaryawan pajak menjadi canggung dan sedikit tegang. Rasa curiga bisa mencuat di antaran sesama pegawai. Suasananya jadi serbasalah. ''Enggak enak rasanya kalau kita tidak melakukan apa-apa, tapi kalau kita berbuat sesuatu juga takut dianggap melakukan kesalahan,'' jelasnya.
Gito tak bisa menyalahkan masyarakat yang memiliki persepsi negatif seperti itu. Karena, kenyataannya Gayus itu memang ada. Namun, dia berharap publik tidak menyamaratakan bahwa seluruh pegawai Pajak tak ubahnya Gayus. Menurutnya, sejak 2007 Ditjen Pajak sebenarnya telah melakukan reformasi birokrasi secara besar-besaran.
Sebagai orang dalam, dia merasakan upaya perbaikan tersebut. Administrasi perpajakan ditata lebih rapi agar transparan dan akuntabel. Budaya konvensional ketika dinas luar, seperti jamuan makan, tidak diperbolehkan lagi. Sampai-sampai, pegawai pajak malas ditugaskan dinas luar karena biayanya yang tinggi dan harus ditanggung pribadi. Bahkan, untuk segelas air putih pun tak lagi menjadi tanggungan kantor. ''Itu begitu ekstremnya,'' kata Gito.
Masalah absensi tidak kalah ketat. Pegawai yang terlambat 50 jam dalam setahun harus berhati-hati. Mereka bisa kena sanksi tidak naik pangkat selama dua tahun. Kultur di tempatnya bekerja dirasakan mulai berubah. Uang negara tak bisa sembarangan digunakan untuk kepentingan pribadi karena pegawai sudah mendapatkan remunerasi penghasilan.
Yadi menambahkan, setiap hari kini pegawai Ditjen Pajak mesti masuk pada pukul 07.30 WIB. Jika terlambat hadir hingga 10 menit, pegawai diganjar pemotongan biaya tunjangan sebesar 0,25 persen. Pemotongan paling tinggi, jika pegawai terlambat hadir sampai 90 menit, yakni 1,25 persen atau sejumlah Rp 70 ribu per hari.
Dalam sebulan, keterlambatan pun ditoleransi maksimal hanya lima hari. Di atas itu, seorang pegawai bakal menerima panggilan kepala kantor wilayah. ''Kalau sudah begitu, akan dicap dan susah naik jabatan,'' ungkap Yadi.
Tapi apa mau dikata, Gayus merusak segalanya. Usaha keras selama tiga tahun untuk memperbaiki diri sia-sia. Yang lebih mengenaskan, reformasi di Ditjen Pajak itu dirusak oleh pegawai tingkat pelaksana. Gayus merupakan mantan penelaah keberatan dan banding di Ditjen Pajak. ''Pohon itu buahnya banyak, karena satu yang busuk maka pohon itu dianggap tidak berkualitas,'' kata Gito dengan nada kesal.
Kasus Gayus pun, Gito menjelaskan, sebenarnya tidak terjadi di dalam Ditjen Pajak. Lebih tepatnya, ia menyebutkan, kasus mafia pajak itu terjadi di pengadilan pajak. Tapi, pegawai pajaklah yang sekarang harus menanggung dampaknya.
Pantas bila kemudian pegawai Pajak membenci Gayus. Mereka pun kecewa ketika melihat majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menjatuhkan vonis penjara selama tujuh tahun bagi Gayus. ''Semua di ruang kerja saya kecewa,'' ujar Gito.
Meski kernet buskota tak lagi meneriakkan kata-kata bernada sindiran 'Gayus, Gayus', untuk menyebut Kantor Pusat Ditjen Pajak yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, cibiran berbentuk lainnya masih terasa. Karena itu, Roby Erwin, pegawai pajak lainnya, berharap masa-masa menyakitkan ini bisa berakhir. Walaupun, penyembuhan dari luka Gayus ini akan memakan waktu lama.