REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya gerah dengan kritikan yang dilontarkan sejumlah tokoh lintas agama karena merasa dituding berbohong. Pertemuan dengan sekitar seratusan tokoh agama pun akhirnya digelar di Istana, Senin malam lalu. Dalam pertemuan tertutup tersebut, para tokoh agama menyampaikan berbagai masukan seputar permasalah yang dihadapi bangsa. Apa sebenarnya maksud dari kritikan para tokoh agama tersebut dan bagaimana reaksi pemerintah? Berikut wawancara Republika dengan Staf Khusus Presiden, Daniel Sparingga:
Pertemuan Presiden dengan tokoh agama sebagai reaksi terhadap kritik?
Kami memang bertekad di tahun 2011 lebih agresif merespon masalah, menjemput bola, melibatkan elemen bangsa untuk menjadi bagian dari solusi. Apalagi ini tokoh agama yang sangat dihormati oleh Presiden SBY, maka tidak ada alasan lain untuk menunda. Maka, itu jadi prioritas utama. Bapak Presiden bahkan menghapus beberapa agenda hanya untuk bertemu dengan tokoh agama itu.
Apa sebetulnya yang dibahas dalam pertemuan Presiden dengan kalanganh tokoh agama?
Pertemuan itu menjadi penting karena merupakan respon Presiden atas kebutuhan melakukan dialog dengan para tokoh lintas agama. Mereka memiliki sejumlah kegelisahan tentang perkembangan bangsa ini.
Pertemuan itu didedikasikan sebagai forum untuk mendengarkan mereka. Mendengarkan pikiran perasaan dan pengalaman para tokoh agama itu. Tentu saja Presiden mengambil kesampatan itu, juga memberi penjelasan yang relevan.
Kenapa wartawan tiba-tiba diminta keluar untuk tidak meliput acara dialog itu?
Justru itu untuk membuat mereka yang bicara tidak harus merasa menyensor diri. Sama penting dengan itu, mereka yang hadir tidak harus memperhitungkan akibat dari ucapannya hanya karena ada orang lain (media) yang mendengarkan. Jadi, agar membuat orang merasa bebas bicara, apalagi ini maksudnya dialog bukan pidato. Termasuk yang pedas sekalipun.
Bagaimana suasana pertemuan tertutup itu?
Awalnya sedikit kaku dan kurang alamiah. Tetapi dengan berjalannya waktu, semua orang tidak punya pilihan lain selain berbicara apa adanya. Hal itu justru membuat lawan bicaranya mengerti dan paham.
Para tokoh agama kemudian mengambil kesempatan itu dengan baik. Mereka menyampaikan pikiran, perasaan, dan pengalaman mereka, dengan kata-kata yang mereka pilih sendiri tanpa halangan menjaga perasaan Presiden.
Pertemuan itu menjadi sangat terbuka dan disemangati saling mendengar, berbagi, dan memberi. Itu, menurut saya, terjadi karena orang melihat pertemuan ini tidak boleh disia-siakan. Pertemuan itu berlangsung hampir empat jam. Mulai dari pukul 20.00 sampai kami press conference sudah melampaui tengah malam.
Apakah ada semacam kesepakatan antara pemerintah dan para tokoh agama dalam pertemuan itu?
Tidak dengan formulasi yang formal, tetapi semua orang sama-sama paham bahwa pertemuan serupa perlu dilanjutkan lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Semua orang paham itu. Semua yang disampaikan para tokoh agama menjadi sangat penting menjadi bahan evaluasi, refleksi, dan masukan bagi perbaikan langkah kebijakan pemerintah di hari-hari mendatang.
Banyak yang mengatakan pemerintah terlalu terpaku pada kata ‘pembohong’ yang dilontarkan dalam pernyataan para tokoh agama, tapi tidak masuk dalam substansi masalah?
Publik harus diberitahu lebih terang. Tidak satu tokoh agama pun yang pernah mengatakan Presiden SBY berbohong. Hal itu diucapkan lagi di dalam forum itu, di antaranya oleh Romo Magnis dan beberapa tokoh lainnya. Itu merupakan klarifikasi yang penting bagi Presiden secara pribadi dan pemerintah pada umumnya.
Sesungguhnya tidak ada pernyataan yang didapat dan diakui sebagai pernyataan tokoh agama yang menuduh pemerintah berbohong. Presiden menyambut hal itu, tetapi dengan undangan bagi tokoh agama untuk tetap kritis terhadap presiden.
Jadi sebenarnya persoalan ini menjadi besar karena media?
Kalau kita mau apa adanya, media telah membiarkan kecerobohon dari berita kurang tepat itu berlarut-larut dan bantahan sebaliknya kurang mendapatkan tempat yang memadai. Pesan pentingnya, agar kita semua memakai bahasa terang, utamanya ketika kita di ruang publik.
Terkait awal mula terjadinya pertemuan itu, duduk persoalan sebenarnya seperti apa?
Ada atau tidaknya statement yang bernada menyerang Presiden, sesunggahnya dialog seperti itu, pertemuan seperti itu, sudah lama ditunggu terjadi di antara kedua belah pihak. Pertemuan ini menjadi yang baik.
Ketika dua niat itu dipicu semangat yang sama, dari segi pemerintah, itu menjadikan tahun 2011 sebagai tahun yang lebih agresif dari pemerintah untuk menyongsong bola. Sama penting dengan itu, melibatkan eleman bangsa menjadi bagian dari solusi.
Para tokoh lintas agama itu juga merasa perlu mengungkapkan kegelisahan. Mereka merasa perlu didengar langsung oleh Presiden dan mendapatkan respon secara segera. Momentumnya pas.
Dengan adanya kritikan mereka, apa langkah selanjutnya dari pemerintah?
Satu yang penting, yang sebetulnya senapas, ada atau tidak adanya kritikan itu, apalagi ada. Yaitu instruksi kasus Gayus yang 12 itu yang segera dilakukan. Hal itu sejalan dengan kritikan oleh mereka terkait penegakan hukum yang mandeg, atau tidak berjalan, dan kurang terarah.
Selain itu, soal bagaimana negeri ini dapat mengurangi kemiskinan dalam waktu yang lebih cepat. Karena apa artinya pertumbuhan yang tinggi, GDP meningkat tajam, tapi masih banyak (rakyat) yang belum bisa tidur nyenyak.
Lalu, kerisauan para tokoh agama tentang hidup, tentang tindakan sejumlah orang yang mengatasnamakan agama dan melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Kerisauan ini diungkapkan tidak hanya oleh para pimpinan agama Kristen dan Katolik, tapi disinggung yang lain. Tiga topik itu menjadi isu primadona bagi pemerintah