Rabu 19 Jan 2011 08:41 WIB
Pro-Kontra

Kami Kritis tapi tidak Ngawur

Rep: Rosyid Nurul Hakim/ Red: Johar Arif
Salahuddin Wahid
Foto: Antara
Salahuddin Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya gerah dengan kritikan yang dilontarkan sejumlah tokoh lintas agama karena merasa dituding berbohong. Pertemuan dengan sekitar seratusan tokoh agama pun akhirnya digelar di Istana, Senin malam lalu. Dalam pertemuan tertutup tersebut, para tokoh agama menyampaikan berbagai masukan seputar permasalah yang dihadapi bangsa. Apa sebenarnya maksud dari kritikan para tokoh agama tersebut dan bagaimana reaksi pemerintah? Berikut wawancara Republika dengan salah satu tokoh agama, KH Salahuddin Wahid:

Sikap para tokoh agama ke depannya akan bagaimana terhadap pemerintah?

Akan tetap kritis dan bertanggung jawab. Tidak ngawur, menuduh yang macam-macam. Kita harus punya argumentasi yang kuat. Kalau tidak ada peristiwa sepekan lalu itu, kita tidak bertemu kayak Senin malam lalu kan?

Terkait pernyatan sembilan tokoh agama yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah, sebenarnya apa komitmen awalnya?

Kami hanya ingin menyampaikan saran kepada pemerintah. Kritik dan saran mengenai berbagai masalah yang dianggap sangat penting untuk bisa memperbaiki kondisi negara ke depan.

Datanya didapatkan dari mana ?

Dari kawan kawan LSM, profesional yang ahli eknomi, aktivis hak asasi manusia (HAM). Sebenarnya itu mulainya tanggal 23 November 2010, mulai kami ngomong secara kebutulan saja. Waktu itu acara mengenang Gus Dur, nilai-nilai kepahlawannya. Saya bersama pendata Andreas A Yewangoe, Martinus D Situmorang, dan Djohan Effendi bicara tentang hal hal yang kita rasakan terhadap kondisi negara ini.

Disepakati kita melakukan diskusi mendalam, yang kemudian dilakukan tanggal 8 Desember 2010 di Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Kami mengundang Teten Masduki dan Sri Palupi. Sri Palupi itu aktivis HAM, ekonomi, dan sosial budaya. 

 

Mereka berdua yang memberikan masukan, paparan, membuka cakrawala kami, membuka hati kami, tentang apa yang dihadapi bangsa ini. Yang ternyata tidak sebaik yang dikesankan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, ok, kita lanjutkan nanti di awal Januari 2011 di PP Muhamadiyah. Nah, ketika itu terus ada anak-anak muda, baik dari Muhamadiyah dan yang lainnya, menindaklanjuti hal itu. Mereka mengundang berbagai LSM dan kelompok yang akhirnya menghasilkan darf daftar ‘’18 kebohonan”. Tapi kami sendiri tidak menandatangai pernyataan yang mengikuti draft mereka. Pernyataan kami, ya yang saya bacakan itu saja.

Jadi, 18 pernyataan itu hasil pertemuan anak-anak muda. Beberapa ada yang diterima dan  tidak. Cuma mungkin mereka vokal dan disebarkan ke hadirin. Nah itu yang masuk ke pers. Itu yang kemudian menjadi sorotan dari pemerintah, dan akhirnya terkesan kami menunjuk Pak SBY berbohong. Padahal, bukan pribadi (SBY), tapi ini pemerintah. Ada perbedaan yang tajam antara ucapan pemerintah dan kenyataan yang terjadi.

Seusai menyampaikan kritik, langsung ditanggapi pemerintah. Bahkan, diadakan pertemuan membicarakan hal tersebut pada Senin (17/1) malam, kenapa Anda tidak datang?

Saya tidak terima undangan tertulis. Kalau undangan SMS sudah ada sejak Sabtu (15/01). Nah, yang lain menerima undangan tertulis. Saya tidak tahu kenapa (undangan tertulis) tidak sampai ke saya. Saya takut kalau datang tanpa undangan. Saat itu juga saya capek sekali, sudah dari pagi (melakukan kegiatan).

Ketika saya pulang ke rumah pukul 19.30, istri saya pukul 17.00 menerima telepon terkait undangan itu. Lalu katanya mau difax, tapi fax di rumah saya rusak.

Sebenarnya, apa  tujuan atau misi para tokoh agama ini mengeluarkan pernyataan berisi kritikan kepada pemerintah?

Cuma saran dan kritikan. Kita tidak punya wewenang. Cuma karena oleh pers (ramai diberitakan), jadinya dianggap sebagai sebuah seruan yang punya bobot, karena dari tokoh agama. Padahal tokoh agama lain seperti Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU) justru mengatakan pemerintah bagus, itu silahkan saja. Bu Hartati Murdaya (ketua Umum Walubi) juga menganggap bagus.

Apa yang kita sampaikan itu harusnya jadi masukan untuk pemerintah. Jangan kemudian Bu Hartati dan Pak Said menyalahkan kami. Seperti kata Pak Said di pembukaan Muktamar Gerakan Pemuda Ansor, sebaiknya tidak memakai kata bohong.

Kami itu sebenarnya tidak memakai kata bohong. Tapi itu dari anak-anak muda. Mereka yang kemudian dengan berbagai trik sampai ke pers. Oleh pers dianggap itu dari kami. Sebenarnya redaksional kami berbeda, tapi substansi sama.

Pada pertemuan semalam, ada beberapa tokoh agama lain tidak datang, termasuk Syafii Maarif. Apakah ada silang pendapat terkait pertemuan itu, atau bagaimana?

Kemarin (Senin, 17/01) kami pukul 13.00 ketemu untuk membahas pernyataan itu. Tetapi waktu itu Pak Syafii tidak ada karena sedang di Yogyakarta. Saya juga sudah kontak-kontak dengan beliau, dan katanya  Anda (saya) sajalah. Terkait hal ini, koordinator sebenarnya adalah Pak Syafii dan saya wakilnya.

Lalu sorenya pukul 17.00 pernyataan itu akan disampaikan. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah di antara kami. Oleh karena itu datang dan tidak (ke pertemuan dengan Presiden) bukan karena ada perbedaan. Mereka yang datang itu juga setelah diskusi dengan kami.

Kami akan ketemu satu dua hari lagi untuk membahas perkembangan dan mendengarkan laporan hasil pertemuan dengan Presiden. Kemudian mencoba merumuskan langkah apa yang baiknya dilakukan.

Apakah sudah ada kabar tentang hasil pertemuannya?

Menurut Pak Martinus D Situmorang, ketua KWI, pemerintah beritikad baik. Ini baru awal, kita lihat perkembangannya bagiamana. Kita akan mengevaluasi dan membahas, serta merumuskan apa yang akan kita lakukan. Tidak bisa begitu saja, harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Pernyataan kami cukup tajam, masak kami tinggal, tidak diurusi.

Apakah ada rencana untuk mencabut pernyataan kritik pada pemerintah?

Tidak. Seandainya pemerintah tidak sepaham itu hak pemerintah. Kami tidak akan mencabut. Jangan dianggap ini punya tendesi politik macam-macam, memakzulkan Presiden.

Memakzulkan itu cuma dua cara. Pertama, secara konstitusional melalui MPR. Tapi kami tidak ada yang melalui jalur partai, tidak ada yang anggota MPR, jadi mana bisa. Kedua, melalui kekerasan, militer. Tapi, jangankan kami punya senjata, pegang senjata saja tidak pernah. Apalagi punya pasukan. Jadi jauh dari itu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement