REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Klub-klub sepakbola yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) harus diperiksa dan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantan Keuangan. Hal ini ditegaskan salah satu peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan.
Menurut Abdullah, klub-klub profesional yang kerap menggunakan dana APBD atau disebutnya ‘klub-klub berplat merah’ itu, tidak memiliki standar gaji dan kontrak pemain yang jelas. Ketidakjelasan standar biaya dan kontrak pemain, sangat memungkinkan terjadinya mark up dalam manajemen keuangan.
Ia menyebutkan, standar biaya klub-klub profesional itu seharusnya sudah teratur, mengingat belum adanya kejelasan dalam gaji pemain lokal dan asing. Pasalnya lebih dari setengah pengeluaran klub ditujukan untuk membayar gaji pemain asing. Sedangkan untuk kontrak pemain, lanjutnya, klub terkesan tidak transparan dan akuntabilitasnya pun jelas.
Padahal APBD yang digunakan klub seharusnya untuk stimulasi dan peningkatan kualitas pemain lokal. Kontrak pemain pun selama ini tidak ada pertanggungjawaban terhadap publik. “Periksa klub-klub besar seperti Persija Jakarta,” tegas Abdullah Dahlan dalam diskusi publik ‘Klub Sepakbola Tanpa APBD’ di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Ahad (16/1) siang.
Ia menyebut beberapa klub yang menggunakan APBD dalam jumlah besar. Misalnya, Persija Jakarta pada 2006 lalu menggunakan APBD Pemprov DKI Jakarta sekitar Rp 30 miliar dan pada 2010 diduga hingga Rp 40 miliar.