REPUBLIKA.CO.ID,MEDAN--Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua mengatakan, utang Indonesia dewasa ini sudah "stadium empat" karena banyak korupsi dan kolusi yang terjadi.
"Ibarat penyakit, utang kita sudah 'stadium empat'," katanya dalam dialog pada lokakarya nasional Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Medan, Jumat.
Praktik korupsi itu terjadi di berbagai sektor kehidupan masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai akibat yang mengerikan dan sulit diperkirakan sejak awal, ujarnya. Ia mencontohkan praktik korupsi dan kolusi dalam perizinan dan pengawasan hutan, sehingga jutaan hektare hutan di Tanah Air rusak setiap tahunnya. "Kerusakan hutan setiap menit seluas dua kali lapangan bola. Bayangkan kalau setahun berapa juta hektare," kata Abdullah Hehamahua.
Kerusakan yang ditimbulkan kerusakan hutan yang diawali dari praktik korupsi dan kolusi itu dapat dilihat dari berbagai bencana yang terjadi di tanah air. "Kalau Pulau Jawa banjir biasa saja. Tetapi kalau Kalimatan dan Sumatera banjir, itu 'aneh bin ajaib'," katanya.
Praktik korupsi itu juga dapat terjadi dalam perizinan perumahan dengan adanya pembiaran terhadap pihak-pihak tertentu untuk membuat bangunan di bantaran sungai. Pihak-pihak tertentu itu dapat mendirikan bangunan di bantaran sungai karena diduga telah membayarkan sesuatu kepada instansi berwenang. "Kalau ada yang protes, 'disorong'," kata Abdullah Hehamahua.
Ia mengatakan, praktik korupsi yang salah satu akibatnya menyebabkan pembengkakan utang negara itu diperparah dengan ketidakmampuan pejabat pemerintahan dalam memeratakan pembangunan. "Sekarang masih ada sekitar 70 juta rakyat Indonesia yang tidak mendapatkan listrik," katanya.
Selain memiriskan, ketidakmerataan pembangunan itu juga telah memengaruhi rasa nasionalisme dan kecintaan sebagian rakyat terhadap Indonesia. Disebabkan tidak mendapatkan sentuhan pembangunan, tidak sedikit rakyat Indonesia justru lebih mengenal pemimpin negara lain dari pada bangsa sendiri.
Pihaknya pernah mendapatkan kenyataan itu di sebuah pedesaan terpencil di Bengkalis, Provinsi Riau ketika menghadiri sebuah perlombaan cerdas cermat beberapa tahun lalu. Ketika ada pertanyaan tentang nama Presiden RI, peserta justru menjawab nama mantan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi.
"Mereka lebih kenal pejabat Malaysia dari pada pemimpin kita," kata Abdullah Hehamahua tanpa menyebutkan tahun perlombaan cerdas cermat itu. "Lebih memiriskan lagi, kejadian itu terjadi di Bengkalis yang merupakan salah satu penghasil minyak di Indoensia," katanya menambahkan.