REPUBLIKA.CO.ID, Semua hiruk-pikuk pemberitaan belakangan ini bersumber dari Gayus Halomoan Tambunan.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari Kementerian Keuangan golongan IIIA yang masa kecilnya dihabiskan di sebuah rumah munggil di daerah Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, lingkungan sosial yang kondisinya jauh berbeda dengan Kelapa Gading di mana ia tinggal bersama istri dan tiga anaknya.
Berbeda dengan empat saudaranya, Gayus kecil diakui memang lebih pintar secara akademik oleh ayahnya, Amir Syarifuddin Tambunan, mengingat mantan pegawai pajak ini selalu juara di sekolahnya. Banyak yang mengakui bahwa bukan perkara mudah bisa masuk ke Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) karena seleksinya begitu ketat, tapi ternyata Gayus pada saat yang sama juga diterima di Sekolah Tinggi Telekomunikasi (STT) Telkom dan Universitas Indonesia.
Pilihan melanjutkan ke STAN, menurut Amir, karena dapat langsung diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tahun 2000 Gayus menyelesaikan pendidikannya di STAN dan langsung ditugaskan ke Balikpapan, baru ditempatkan di kantor pusat Ditjen Pajak setelah lulus D4 di STAN.
Jabatan terakhir Gayus sebelum dinonaktifkan dan akhirnya dipecat adalah Penelaah Keberatan Ditjen Pajak. Pendapatan saat pertama terdakwa kasus mafia pajak ini masuk ke Ditjen Pajak tentu tidak sama dengan saat dia tidak lagi menjabat.
Ingat saat Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan kala itu mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 289/KMK.01/2007 dan 290/KMK.01/2007 yang isinya menaikkan uang tunjangan atau dikenal dengan sebutan tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN)?
Gaji pegawai Departmen Keuangan, termasuk Gayus pastinya, menjadi lebih tinggi dibanding PNS di lembaga dan instansi negara lainnya. Dari pendapatan di kisaran Rp2 juta dan menjadi sekitar Rp12 juta untuk seorang Penelaah Keberatan di Ditjen Pajak.
Jika secara psikologis harus menelaah kasus Gayus Halomoan Tambunan, jawabannya Gayus keblinger. Entah kosa kata apa yang sepadan untuk menggantikan kata keblinger, namun yang jelas Gayus menjadi lupa diri terperdaya kesuksesannya, sukses jabatan, sukses harta, sukses kekuasaan.
Trauma menjadi orang biasa yang hidup dengan segala kesederhanaan di tengah kondisi ekonomi dan lingkungan sosial yang terpuruk membuat orang-orang yang cerdas seperti Gayus tidak lagi menghiraukan nilai-nilai budi pekerti, moral, dan agama.
"... atau justru penyidik tim yang katanya independen sangat sayang pada negara tercinta ini, Republik Indonesia, karena jika cerita-cerita saya diseriusi, maka terpaksa Direktorat Jenderal Pajak harus dilikuidasi, karena sebelum tahun 2007, kami di pajak menyebutnya dengan zaman jahiliyah, sulit menemukan pejabat ataupun aparat yang benar benar bersih di Direktorat Jenderal Pajak".
Kutipan di atas diambil dari pledoi Gayus Halomoan Tambunan berjudul "Indonesia Bersih, Polisi dan Jaksa Risih, Saya Tersisih" yang dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada 13 Juni 2008 saat mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melantik 18 pejabat eselon II Ditjen Pajak di Gedung Djuanda Departemen Keuangan meminta bawahannya, khususnya di Ditjen Pajak, untuk menahan diri dari suap dan benar-benar melaksanakan reformasi birokrasi.
"Kita tahu pajak ini memang tidak seperti Bea dan Cukai yang penyelewengannya bisa ketahuan lewat transaksi fisik, tapi di pajak memang sulit dipergoki. Tapi anda harus menghilangkan kebiasaan itu sebab `sooner or later` anda bisa kepergok juga, baik itu lewat KPK atau lewat rekan-rekan anda," ujar Sri Mulyani kala itu.
Berkaca dari kasus Gayus, tidak dapat dipungkiri faktor lingkungan sosial selain ekonomi juga menjadi salah satu penyebab seseorang lupa akan nilai-nilai moral, agama, dan budi pekerti. Kemiskinan yang berlarut-larut tanpa harapan membuat virus lupa diri lebih mudah berkembang saat uang, kemewahan, jabatan ditawarkan di hadapan seseorang.