Selasa 04 Jan 2011 05:01 WIB

Anggaran Renovasi Rumah Menteri Keuangan Dinilai Menyalahi Prosedur

Rep: kim/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengerjaan anggaran renovasi rumah Menteri Keuangan dinilai menyalahi prosedur. Banyak pekerjaan yang tidak melalaui proses tender. "Belanja renovasi ini tidal melalui pelelangan umum atau tender. Dia melaui penunjukan langsung," kata Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky Kadafi, saat dihubungi Republika.

Menurutnya, dalam proses pengerjaan renovasi rumah dinas tersebut, angkanya sengaja dipisah-pisah agar mencapai nilai yang tidak perlu menggunakan proses tender. Sebagai contoh, dia mengungkapkan, berdasarkan hasil audit Badan Pemiksa Keuangan (BPK), renovasi rumah dinas Menteri Keuangan tahun 2009 mencapai Rp 1,3 miliar. Dana sebesar itu meliput pekerjaan interior sebesar Rp 509,30 juta, pekerjaan tambahan (penambahan batu alam, material, dan pengecetan rumah) sebesar Rp 257,54 juta, dan pekerjaan furniture Rp 552 juta.

Dalam pengerjaan interior rumah tersebut, dana disebar ke 13 rekanan dengan penunjukan langsung, tanpa ada proses lelang. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat perintah kerja kepada 13 rekanan tersebut tertanggal 11 Mei 2009. Nilai yang dipecah dari pekerjaan itu dimulai dari Rp 17 juta sampai Rp 49 juta. Nilai ini masih dibawah syarat untuk masuk dalam proses lelang.

Lalu pada pada pekerjaan furniture, juga dilakukan dengan penunjukan langsung kepada 13 rekanan. Nilai pekerjaaitu dipecah dengan kisaran Rp 27 juta sampai Rp 49 juta. "Mereka pecah agar tidak ada lelang," kata Uchok. Sedangkan untuk pekerjaan tambahan, justru tidak ada kontrak kerjanya. Kementerian Keuangan hanya mencantumkan kwitansi pembayarannya saja.

Menanggapi data ini, Kordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran, Firdaus Ilyas, mengatakan bahwa praktek pemecahan alokasi anggaran itu merupakan praktek yang tidak benar. "Kalau renovasi rumah kan pekerjaan umum, semua bisa melakukan. Dalam konteks ini seharusnya dia melalui mekanisme lelang. Artinya dari prosedural menyalahi mekanisme pengadaan barang dann jasa," ujarnya.

Pelanggaran sangat jelas terjadi karena jenis pekerjaannya sama. Jadi seharusnya tidak perlu dibagi kepada 13 rekanan. Satu jenis pekerjaan yang kemudian dipecah proses pengerjaannya justru menambah beban anggaran. Harga satuan baranganya menjadi jauh lebih mahal. Seperti halnya membeli barang ditingkat eceran akan jauh lebih mahal daripada ditingkat grosir.

Kemudian jika dilihat dari besarannya yang mencapai Rp 1,3 miliar untuk tahun 2009 dan sebanyak 2,1 miliar untuk tahun 2008,  menurut Firdaus justru terkesan sebagai sebuah pemborosan. "Ini harus dilihat pekerjaannya. Untuk seorang menteri ini nilainya kebesaran, bisa saja nilai pengadaannya lebih besar dari seharusnya," katanya. Apakah semua barang yang dibeli dengan menggunakan uang negara tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan.

Jika nilai sebesar itu tidak sesuai dengan kebutuhan, justru akan membuat anggaran menjadi tidak efisien. Praktek semacamm ini sebenarnya banyak dilohat Firdaus di lembaga dan kementerian yang lain. Oleh karena itu, demi meningkatkan pengawasn publik, dia meminta kepada BPK untuk bisa lebih terbuka soal hasil pemeriksaanya.

Sejak tahun 2010 sudah tidak bisa diakses lagi (laporan pemeriksaan). Ini agak buruk untuk BPK," ujar Firdaus. Ke depan dia berharap ada lebih banyak keterbukaann dari BPK, kementerian, dan lembaga negara yang lain soal anggaran ini. Sehingga masyarakat bisa ikut mengawasi jika ada praktek-praktek pengelolaan anggarann yang menyalahi aturan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement