Jumat 24 Dec 2010 00:05 WIB

Pemerintah Didorong Ratifikasi Konvensi Internasional Penghilangan Paksa

Rep: Indah Wulandari/ Red: Djibril Muhammad
ilustrasi
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pada 23 Desember 2010 ini, Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa akan resmi berlaku. Indonesia pun didorong untuk segera meratifikasi konvensi ini agar tragedi HAM tak terulang. "Menyikapi kondisi ini, kami mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan prioritas terhadap rencana ratifikasi konvensi internasional tersebut,"ujar Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, Kamis (23/12).

Menurutnya, Presiden pun harus memaksimalkan peran Kementerian Hukum dan HAM untuk menyiapkan naskah akademik sebagai bahan awal proses ratifikasi. Selain itu, Komnas HAM juga harus mengambil inisiatif untuk memuluskan proses ratifikasi dan tidak menghambat partisipasi masyarakat sipil secara lebih luas.

"Meski belum meratifikasi konvensi ini, kami menegaskan penting bagi pemerintah untuk segera meratifikasi, mengingat kita memiliki sejarah panjang praktik penghilangan paksa," imbuh Haris.

Ia menyebutkan beberapa kasus seperti Tragedi 1965–1966, kasus Penembakan Misterius 1981 – 1983, kasus Tanjung Priok 12 September 1984, kasus Talangsari 1989, kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998 serta kasus 13 – 15 Mei 1998, dan DOM Aceh 1989 – 1998. Haris menambahkan, selain memberikan kepastian hukum bagi masyarakat agar tidak menjadi korban penghilangan paksa, ratifikasi akan mencegah keberulangan praktik penghilangan paksa dan sekaligus bentuk pengakuan jika praktek itu adalah kejahatan kemanusiaan.

Di sisi lain,ia mengacungi jempol pada pemerintah. Lantaran pada 27 September 2010 lalu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Langkah ini,sebut Haris,diharapkan dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu ratifikasi. "Namun demikian, kebutuhan - kebutuhan ini justru tidak mampu diterjemahkan oleh DPR RI," cetus Haris.

Pasalnya, anggota dewan tidak mencantumkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa ke dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan butir keempat rekomendasi DPR RI untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 – 1998 dan Rencana AktNamun demikian, kebutuhan - kebutuhan ini justru tidak mampu diterjemahkan oleh DPR RI karena tidak mencantumkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa kedalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) 2011. Kondisi ini tentunya sangat bertolak belakang dengan butir keempat rekomendasi DPR RI untuk kasus Penghilangan Paksa 1997 – 1998 dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2010 – 2015 yang telah mengagendakan ratifikasi konvensi ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement