REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengusulkan agar anggaran pemilu kepala daerah (pilkada) tidak lagi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), melainkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Berdasarkan pengalaman pilkada, hambatan dalam persetujuan dan pencairan anggaran (bersumber dari APBD) menjadi persoalan yang menghambat tahapan pilkada," kata anggota Bawaslu, Agustiani Tio FS dalam acara "Catatan Akhir Tahun Pengawasan Pilkada 2010", di Jakarta, Senin (20/12).
Agustiani yang didampingi Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini dan anggota Bawaslu lainnya, menyampaikan anggaran pilkada dari APBD memiliki kelemahan yakni terlambat dicairkan. Bawaslu juga mengindikasikan pencairan anggaran ini, digunakan sebagai alat tawar- menawar untuk kepentingan pilkada.
Keterlambatan pencairan anggaran ini, katanya, menghambat kerja pengawas pilkada, sehingga pengawasan tidak dapat berjalan secara optimal. "Kalau masih APBD, ini akan menghambat panwas bekerja. Ada panwas yang sampai dengan hari pemungutan suara, anggarannya (untuk pengawasan) belum cair," katanya.
Ia mencontohkan masalah anggaran pengawasan ini terjadi diantaranya di Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Karo, dan Konawe Selatan. "Di Karo sudah masuk putaran kedua, padahal untuk putaran pertama belum cair. Halmahera Barat juga belum cair, sedangkan di Konawe Selatan uang kehormatan panwas tidak mencukupi," katanya.
Lebih lanjut Agustiani menjelaskan, panwas bersifat adhoc sehingga penyusunan anggaran dilakukan oleh sekretaris daerah. Umumnya, ujarnya, banyak sekda yang tidak mengetahui dengan benar kebutuhan anggaran pengawasan. "Sehingga pembuatan rancangan anggaran untuk panwas sering tidak rasional. Jadi ketika sudah disetujui DPRD, sulit untuk direvisi," katanya.
Bawaslu, telah mengusulkan agar pilkada dibiayai APBD ini, masuk dalam poin pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melakukan penelitian tentang anggaran pilkada di sejumlah daerah, dan hasilnya, Fitra mengusulkan agar pilkada dibiayai APBN karena lebih memberikan kepastian pembiayaan dan menghindari adanya alokasi biaya ganda.
Sekretaris Jenderal Fitra, Yuna Farhan menjelaskan pilkada yang bersumber dari APBD akan menimbulkan banyak persoalan, yang hanya bisa diatasi dengan pembiayaan dari APBN. "Pembiayaan pilkada dari APBN dapat menyelaraskan tahapan dengan siklus anggaran dan kepastian pembiayaan APBN dapat menghindari konflik antara lembaga," katanya.
Pembiayaan pilkada dengan APBN memberikan keuntungan karena dapat menghindari adanya pembiayaan ganda dan biaya yang dikeluarkan untuk setiap pemilih dapat distandarisasi. Sementara, anggaran pilkada yang berasal dari APBD menimbulkan persoalan siklus anggaran dan tahapan yang tidak sinkron sehingga tahapan pilkada terhambat.
"Saat tahapan pilkada harus berjalan, daerah belum menganggarkan sehingga, anggaran pilkada tidak dapat dicairkan dan harus menunggu pembahasan rancangan APBD atau perubahan," katanya.
Ia menuturkan pilkada secara langsung dapat tetap dilakukan dengan biaya murah sepanjang pemerintah mengalokasikan pada APBN dan melakukan penghematan serta pembenahan manajemen anggaran.