REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Sensitivitas penegakan hukum terhadap hak-hak anak masih tergolong minim, kata pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dani Krisnawati. "Di Indonesia masih sangat sedikit penegak hukum seperti polisi, hakim, dan jaksa yang memiliki kualifikasi menangani perkara yang melibatkan anak-anak," katanya di Yogyakarta, Sabtu.
Dalam seminar "Mengupas Habis Penegakan Perlindungan Anak" itu mengatakan, penanganan perkara hukum yang melibatkan anak-anak harus dibedakan dengan perlakuan kepada orang dewasa.
"Sebetulnya anak-anak yang berperkara tidak perlu menjalani masa penahanan jika tidak ada kondisi yang mengkhawatirkan seperti penghilangan barang bukti maupun melarikan diri. Ini sesuai Pasal 31 jo Pasal 21 (1) (KUHAP)," katanya.
Namun pada kenyataannya, kata dia sebagian besar anak yang disangka melakukan tindak kejahatan mengalami penahanan selama menunggu proses peradilan. "Selain itu penahanannya pun sering dicampur dengan tahanan dewasa. Akibatnya anak-anak rentan mengalami kekerasan fisik bahkan pelecehan seksual," katanya.
Hal tersebut menurut dia diperburuk dengan kurangnya pendampingan hukum terhadap anak-anak yang berperkara di pengadilan. "Sangat sering anak-anak disidangkan tanpa didampingi pengacara. Hampir semua anak berasal dari strata ekonomi bawah yang tidak mampu menyewa pengacara, seharusnya pihak pengadilan memberi pendampingan pengacara secara cuma-cuma," katanya.
Ia mengatakan anak-anak tersebut, walaupun terbukti bersalah tidak semestinya dijatuhi hukuman penjara. "Hukuman penjara sebenarnya menyimpang dari Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/33/1985. Vonis penjara adalah upaya paling akhir karena hukuman tersebut akan membatasi akses anak memperoleh kasih sayang dan pendidikan," katanya.