Rabu 08 Dec 2010 23:25 WIB

Iklan Kementerian Hanya Kerek Pencitraan Figur

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG--Iklan-iklan yang belakangan marak dilakukan para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II tak ubahnya hanya untuk mengerek citra diri para menteri yang memamng merupakan tokokh sentral di parpolnya. Ketimbang memaparkan program dan pencapaian kinerja departemen yang dipimpinnya.

Analis komunikasi politik Mochamad Yulianto menilai iklan di berbagai media yang menggambarkan sukses kementerian atau instansi pemerintah tidak lebih dari sekadar politik pencitraan figur menteri yang juga merangkap sebagai petinggi partai. Menurut dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang itu, Rabu (8/12), masih ada bias antara kebenaran dengan realitas sehingga ada celah besar yang dinilai publik sebagai kebohongan, sebab ada masih ketidaksesuaian antara yang disampaikan dengan fakta.

Tekad pemberantasan korupsi secara tegas, cepat, dan tanpa pandang bulu, ternyata tidak selalu sesuai dengan fakta di lapangan. Kasus Gayus Tambunan, katanya, menunjukkan ada celah besar berupa ketidaksesuaian tekad dan janji dengan praktik di lapangan.

Sukses di sektor pertanian yang digambarkan dalam iklan, ternyata juga diikuti dengan kebijakan impor beras. Jaminan keselamatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, misalnya, ternyata juga diwarnai dengan banyak TKI yang menjadi korban kekerasan.

"Sepanjang apa yang disampaikan tidak menunjukkan realitas, iklan seperti itu tidak etis karena iklan itu dibiayai oleh rakyat melalui APBN," katanya.

Akan tetapi, menurut dia, kian sedikitnya kinerja kementerian atau instansi pemerintah yang terliput media, hal itu juga menunjukkan kegagalan bagian humas pemerintah dalam mengomunikasikan hasil kerja pemerintah kepada masyarakat.

Menurut Yulianto, secara hukum, pejabat publik beriklan di media dengan menggunakan dana APBN sah, namun yang disampaikan harus tetap mengacu pada fakta pencapaian, bukan sebuah politik pencitraan untuk kepentingan pejabat publik. "Ini (perebutan ruang dan jam tayang di media) merupakan risiko dari kebebasan media sebagai bagian dari demokrasi. Sah saja kalau negara membiayainya, tetapi bisa menjadi inefisiensi bila pesan yang disampaikan gagal meyakinkan khalayak," katanya.

"Saya melihat tayangan iklan kementerian beserta menterinya yang ada di televisi itu tidak efektif, kecuali mengingatkan khalayak bahwa menteri itu juga seorang politikus. Sebaiknya dirjen saja yang menjadi figur di iklan kementerian," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement