Rabu 01 Dec 2010 08:11 WIB
Peringatan Terhadap Tsunami

BPPT : Waspadai Gemuruh Air Usai Gempa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peringatan dini dari alam berupa suara gemuruh air seperti pesawat terbang sangat penting bagi masyarakat kepulauan dekat zona subduksi gempa untuk menghindari bencana tsunami. Kesimpulan itu merupakan hasil survei pascagempa dan tsunami yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

"Untuk kepulauan di barat Sumatera seperti Mentawai yang jaraknya dekat dengan zona subduksi, waktu tiba tsunami hanya 5-10 menit setelah gempa. Tidak ada yang lebih baik daripada tanda-tanda alam macam gemuruh suara pesawat, khususnya di tengah berbagai keterbatasan teknologi," kata Ketua Tim Survei Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr Widjo Kongko, di Jakarta, Selasa (30/11).

Hambatan bukan saja berasal dari peralatan "tsunami early warning system" (TEWS) seperti buoy yang tak berfungsi, tetapi juga fasilitas komunikasi termasuk ketiadaan sinyal telpon seluler di pulau terpencil tersebut. Belum lagi listrik berpembangkit diesel yang hanya beroperasi hingga pukul 21.00 WIB sementara bencana gempa dan tsunami terjadi pada malam hari.

"Semua hambatan teknologi ini mengajarkan bahwa tanda-tanda alam yang paling penting untuk melarikan diri. Bahkan jika pun teknologi sudah canggih, listrik dan fasilitas komunikasi memadai, waktu 5-10 menit terlalu sebentar untuk proses distribusi informasi dari TEWS ke satelit lalu ke pusat di BMKG lalu ke Pemda dan kemudian masyarakat," katanya.

Survei 20-27 November 2010 hasil kerja sama antara BPPT dan ilmuwan Jerman itu juga menyimpulkan bahwa tinggi tsunami di kepulauan tersebut berkisar antara 1-12 meter dari muka laut, misalnya 12 meter di Pulau Libuat dan masuk hingga terjauh 450 meter di Malakopa.

Pihaknya juga menemukan banyak endapan tsunami diberbagai tempat dengan ketebalan berkisar antara 1,5-12 cm serta pecahan terumbu karang yang ukurannya besar-besar rata-rata mencapai 4x5x3 meter yang sebagian masih hidup karena berasal dari laut. Ia juga mengingatkan, bahwa tidak berarti gempa yang pelan itu tidak akan menimbulkan tsunami karena masyarakat di kepulauan Mentawai ternyata hanya merasakan gempa yang pelan sehingga membuat mereka lengah.

"Meski guncangan pelan, tapi ayunan terjadi sekitar tiga menit, ujarnya. "Mereka tak menyangka karena gempa Mentawai tahun 2007 lebih keras dari ini tapi tidak menimbulkan tsunami, sehingga mereka tak menyangka bahwa tsunami kali ini datang," katanya. Masyarakat setempat yang bermata pencaharian bukan nelayan yakni petani kopra, kata Widjo, juga berpengaruh pada banyaknya korban.

Tim survei terdiri dari 10 ilmuwan, yakni empat orang dari BPPT, dua orang dari Badan Geologi Kementerian ESDM, seorang dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan KKP, dan tiga ilmuwan Jerman dari University of Hamburg dan FI-Leibniz University of Hannover dengan dukungan dari pemerintah Jerman melalui proyek GITEWS.

Proyek ini berupaya untuk mendokumentasikan data lapangan yang bersifat ilmiah serta hasil wawancara korban yang selamat. Hasil survei akan menjadi masukan untuk memperbaiki sistem peringatan dini tsunami (TEWS) dan pengurangan resiko bencana.

sumber : Ant
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement